Di Indonesia, awal Juli kerap diperingati sebagai hari lahirnya Bank Indonesia. Di mana, BI resmi disahkan sebagai bank sentral oleh pemerintah, dalam Undang-undang yang terbit pada 1 Juli 1953.
Sebelumnya, peran bank sentral dikendalikan oleh De Javasche Bank (DJB), lembaga keuangan didirikan kompeni Belanda. Pada 1949, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), meski masih bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Pemerintah kemudian memutuskan DJB menjadi bank sirkulasi untuk RIS dan Bank Negara Indonesia sebagai bank pembangunan.
Pemerintahan RIS dibubarkan tepat pada 17 Agustus 1950 dan Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tiga tahun berselang, terbitlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 yang mengesahkan Bank Indonesia sebagai pengganti De Javasche Bank.
Sepanjang perjalanannya, petinggi DJB kerap dihuni oleh kompeni Belanda dan disebut sebagai presiden. Meskipun begitu, Syafruddin Prawiranegara yang merupakan penduduk asli Indonesia tercatat sempat menjadi orang Indonesia pertama sekaligus terakhir yang menjabat sebagai Presiden DJB, yakni periode 1951-1953.
Perjalanan Awal Mengelola Bank Sentral
Sebutan bagi jabatan tertinggi di bank sentral Indonesia kemudian beralih dari presiden menjadi gubernur. Syafruddin Prawiranegara pun ditunjuk untuk melanjutkan jabatannya menjadi Gubernur Bank Indonesia pertama hingga 1958.
Sebagai informasi, satu periode kepemimpinan Gubernur BI berlangsung selama lima tahun. Pada era Orde Lama, tercatat ada lima orang yang pernah menduduki jabatan tersebut.
Sebagai Gubernur BI pertama, Syafruddin merumuskan peraturan dasar bagi keuangan bangsa. Di antaranya, mengusulkan penerbitan mata uang Indonesia sendiri, untuk mengganti mata uang yang masih beredar pasca-kemerdekaan Indonesia.
Selanjutnya, dia juga mencetuskan Oeang Republik Indonesia atau ORI yang pemerintah terbitkan pada Oktober 1946. Bersamaan dengan itu, pemerintah menarik dua jenis uang yang beredar di masyarakat, yakni uang invasi Jepang dan uang Belanda di bawah nama Nederlandsch-Indische Civiele Administratie atau NICA.
Berkat idenya tersebut, nama Syafruddin diabadikan dalam sebuah kebijakan moneter untuk menghadapi krisis keuangan Indonesia pada 1950-an, yakni Gunting Syafrudin. Tepat pada 10 Maret 1950, kebijakan tersebut berlaku dengan mekanisme pengguntingan fisik uang NICA dan uang DJB mulai dari pecahan Rp 5 ke atas.
Syafrudin yang juga menjabat sebagai Menteri Keuangan itu, menyasar empat masalah dengan satu kebijakan. Mulai dari penggantian mata uang secara masal ke ORI, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi, menurunkan harga barang, serta mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib.
Kompas mencatat akhir kepemimpinan Syafruddin Prawiranegara berakar dari sikapnya yang menentang sistem demokrasi terpimpin Presiden Soekarno. Per tanggal 15 Januari 1958, Presiden Soekarno memecat Syafrudin dari bangku pimpinan tertinggi BI.
Kepemimpinan Syafruddin digantikan oleh Loekman Hakim pada 1958. Pria asal Tuban itu, sebelumnya merupakan Duta Besar Indonesia di Bonn, Jerman Barat.
Berdasarkan laman Kementerian Keuangan, Loekman pernah berkarir di luar negeri, sebagai Direktur Bank Dunia dan Direktur Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF). Dia juga menjabat sebagai Menteri Keuangan di Jakarta, ketika Indonesia beralih menjadi Republik Indonesia Serikat pada 1950.
Loekman wafat pada 1960, sebelum jabatannya di Bank Indonesia berakhir. Selanjutnya, kepemimpinan Bank Indonesia dilanjutkan Soetikno Slamet, Menteri Keuangan kala itu. Sebelumnya, Soetikno sempat melakukan musyawarah perencanaan pembangunan dan melahirkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Meskipun begitu, kepemimpinan Soetikno di Bank Indonesia tak berlangsung lama, atau hanya satu tahun. Menurut laman Kementerian Keuangan, Soetikno melanjutkan karirnya di kancah global, sebagai Direktur Eksekutif IMF pada 1961 hingga 1962 dan juga Bank Dunia.
Berikutnya, estafet kepemimpinan Bank Indonesia beralih ke Soemarno untuk periode 1960 hingga 1963. Sebelumnya Soemarno merupakan Direktur Eksekutif Bank Dunia untuk Rekonstruksi dan Pembangunan di Washington periode 1958 hingga 1960. Dengan pengalaman tersebut, Soemarno dianggap cakap dan ditunjuk menjadi Gubernur Bank Indonesia. Gubernur Bank Indonesia tersebut memiliki putri bernama Rini Soemarno, yang sempat menjabat sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara periode 2014–2019.
Gubernur BI Terakhir di Era Soekarno
Teuku Jusuf Muda Dalam (JMD) menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia kelima sejak 1963 hingga 1966. Pria asal Sigli, Aceh tersebut memulai karir di bidang ekonomi dan sempat menjabat sebagai Presiden Direktur BNI.
Sekadar mengingatkan, BNI merupakan bank pertama milik negara yang lahir kurang dari setahun pasca-kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya pada 5 Juli 1946. Semula, bank ini berfungsi sebagai bank sentral dengan nama Bank Negara Indonesia. Tugasnya, tentu mengedarkan dan mengelola alat pembayaran pertama kala itu, yakni Oeang Republik Indonesia atau ORI.
Berkat sepak terjang JMD selama di BNI, dia kemudian dipercaya untuk mengampu dua jabatan sekaligus pada 1963, yakni Gubernur Bank Indonesia dan menteri urusan bank sentral. Dalam catatan Historia, Jusuf berhasil mengintegrasikan seluruh bank pemerintah ke dalam satu bank, yakni BNI. Kebijakan tersebut berdasar Doktrin Bank Berdjoang agar bank lebih mudah digunakan sebagai alat revolusi terpimpin.
Peristiwa 30 September 1965 mengakhiri Bank Tunggal besutan Jusuf dan skandal pribadi yang melekat dalam diri Jusuf. Dalam aksi demonstrasi pasca G30S/1965, mahasiswa menyebut Jusuf sebagai menteri tukang kawin dan menuntut agar Jusuf diadili. Puncaknya, nama Jusuf masuk ke dalam satu dari 15 menteri yang ditangkap menurut Surat Perintah 11 Maret (Supersemar).
Jusuf menjadi menteri pertama yang diadili pada Agustus 1966 dengan dakwaan berlapis. Menurut buku Melawan Korupsi: Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia karya Vishnu Juwono, Jusuf digugat karena menyelundupkan senjata, amunisi, dan bahan peledak berbahaya, bahkan menyelewengkan dana revolusi sebesar Rp 97 miliar pada masanya.
Tepat pada 9 September 1966, pengadilan menyatakan Jusuf bersalah dan memvonis hukuman mati. Jusuf sempat mengajukan upaya banding, namun pengadilan menolak. Akhir hayatnya, Jusuf menutup usia di tahanan pada 26 Agustus 1976 karena menderita tetanus. Namanya pun dikenal sebagai menteri paling korup pada Orde Lama.