Sejarah Dokumen SIM Berawal di Era Hindia Belanda

ANTARA FOTO/Ampelsa/foc.
Warga mengendarai sepeda motor saat mengikuti ujian praktik lapangan pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Polresta, Banda Aceh, Aceh, Jumat (4/11/2022). Polri menerbitkan aturan baru tentang pembuatan SIM dengan memberikan kemudahan kepada masyarakat, yakni bagi mereka yang gagal mengikuti ujian praktik dapat mengulangi kembali pada hari yang sama.
30/6/2023, 06.04 WIB

Belakangan muncul beberapa aturan baru hingga himbauan terkait pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM). Di Indonesia SIM mulai diperkenalkan pada zaman kolonialisme Belanda.

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo baru-baru ini meminta proses ujian praktek pembuatan SIM dipermudah. Selama ini proses ujian SIM dianggap menyulitkan karena mensyaratkan tes berkendara zig-zag.

Padahal idealnya tes mendapatkan SIM berfokus kepada keterampilan berkendara dan keselamatan para pengguna jalan.

"Saya minta Kakorlantas tolong untuk lakukan perbaikan, yang namanya angka 8 itu masih sesuai atau tidak, yang melewati zig-zag itu sesuai atau tidak. Kalau sudah tidak relevan tolong diperbaiki," kata Sigit dalam Upaya Wisuda STIK Tahun 2023, Rabu (21/6).

Sebelumnya Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri menerbitkan aturan baru mengenai syarat untuk membuat SIM. Setiap pemohon wajib melampirkan salinan sertifikat mengemudi atau surat hasil verifikasi kompetensi mengemudi terbitan lembaga pendidikan dan pelatihan mengemudi terakreditasi.

Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 9 Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi, ditandatangani Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dan terbit pada 8 Februari 2023.

Sejarah SIM di Indonesia

SIM menurut situs resmi Polri merupakan bukti registrasi dan identifikasi yang diberikan Polri kepada seseoraang yang memenuhi persyaratan administrasi, sehat jasmani dan rohani, memahami peraturan lalu lintas, dan trampil mengemudikan kendaraan bermotor.

Sejarah pembuatan SIM dapat ditelusuri hingga awal abad ke-20. Saat itu kendaraan bermotor pertama kali diperkenalkan di beberapa negara. Namun awalnya tak ada aturan resmi untuk para pengemudi. Siapapun bisa membawa mobil asal bisa mengendarainya.

Inggris menjadi pelopor penerbitan SIM pada tahun 1903, negara itu mewajibkan pengandara memiliki SIM. Setelah nya negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat mengekor kebijakan Inggris.

Jika ditelisik SIM di negara ini pertama kali muncul di era Hindia Belanda pada tahun 1912. Saat itu SIM lebih dikenal dengan istilah “Rijbewijs” atau lazim disebut rebuwes. Rijbewijs merupakan bahasa Belanda yang berarti Surat Izin Mengemudi.

Rijbewijs awalnya hanya diberlakukan untuk kendaraan beroda empat dan cuma diberlakukan di dua wilayah, yakni Jawa dan Madura. Pada tahun 1925, SIM mulai diperkenalkan di seluruh wilayah Indonesia.

Bentuk SIM kala itu tak seperti sekarang, ringkas dan kecil. Rijbewijs berbentuk semacam dokumen, terdiri dari beberapa lembar kertas. Bagian depan dokumen Rijbewijs bertuliskan “Motorreglement” diikuti nomor keluar dokumen, misal “SPAATBLAD 1917 No.73 RIJBEWIJS”.

Kemudian pada bagian informasi, hampir seperi SIM masa kini, berisi nama pemilik Rijbewijs , tempat dan tanggal lahir, domisili, serta tanda tangan. Di bagian bawah tertempel foto pemilik Rijbewijs yang dibubuhi stempel berlogo kerajaan Belanda.

Seiring perkembangan teknologi dan jenis kendaraan bermotor, SIM yang awalnya hanya untuk kendaraan beroda empat, mulai diperluas jenisnya. Kini menurut Pasal 211 (2) PP 44 tahun 1993, pembagian SIM di Indonesia dibagi menjadi 5 jenis:

Golongan A
untuk mengemudikan mobil penumpang, mobil bus dan mobil barang yang mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan tidak lebih dari 3.500 kilogram;

Golongan B I
untuk mengemudikan mobil bus dan mobil barang yang mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 kilogram;

Golongan B I1
untuk mengemudikan tractor atau kendaraan bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau kereta gandengan lebih dari 1.000 kilogram;

Golongan C
untuk mengemudikan sepeda motor yang dirancang mampu mencapai kecepatan lebih dari 40 kilogram per jam;

Golongan D
untuk mengemudikan sepeda motor yang dirancang dengan kecepatan tidak lebih dari 40 kilogram per jam.