Tahan Koreksi IHSG Lebih Dalam, BEI Setop Transaksi Short Selling

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
BEI mengintervensi perdagangan di pasar saham dengan menghentikan transaksi short selling untuk mencegah koreksi IHSG lebih dalam.
Penulis: Ihya Ulum Aldin
2/3/2020, 17.15 WIB

Bursa Efek Indonesia (BEI) mengintervensi perdagangan di pasar saham dengan mencabut seluruh efek yang dapat ditransaksikan secara short selling hingga waktu yang akan ditetapkan kemudian hari. Hal ini untuk mencegah indeks harga saham gabungan (IHSG) terkoreksi lebih dalam.

Direktur Utama BEI Inarno Djajadi mengatakan bahwa pihaknya belum akan mengeluarkan seluruh jurus untuk mencegah penurunan IHSG lebih besar lagi. Sejak awal tahun ini IHSG sudah turun 14,2%, namun pihak Bursa belum melihat ini sebagai krisis.

"Kami tidak serta merta mengeluarkan jurus-jurus semuanya. Kalau kami sudah keluarkan jurus semuanya, kami nanti kehabisan jurus dong," kata Inarno dalam konferensi pers yang digelar di Gedung BEI, Jakarta, Senin (2/3).

Inarno mengatakan, pihak BEI tidak akan memproses lebih lanjut bila terdapat anggota bursa (AB) yang mengajukan permohonan untuk melakukan transaksi short selling sampai dengan batas waktu yang akan ditetapkan kemudian.

(Baca: IHSG Anjlok 7,3% dalam Sepekan, Bursa Saham Siapkan Jurus Pamungkas)

"AB wajib memastikan bahwa transaksi yang dilakukan, baik untuk kepentingan AB maupun untuk kepentingan nasabah, bukan merupakan transaksi short selling," katanya.

Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Laksono Widodo menambahkan, selama ini transaksi short selling memang tidak begitu signifikan terhadap total transkasi di pasar saham. Sehingga, intervensi ini hanya bertujuan untuk memberikan peringatan kepada pelaku pasar agar tidak memperparah penurunan indeks.

"Kami ambil kebijakan yang menurut kami, berdasarkan data, tidak signifikan. Menurut kami belum perlu dilakukan suatu tindakan yang lebih drastis dari hal tersebut," ujar Laksono.

Menurutnya, pasar modal yang sehat adalah yang minim intervensi, yang menggunakan prinsip yang digunakan secara bersama di pasar modal negara lain. Apalagi sejauh ini, BEI melihat pasar modal di negara lain yang turun lebih besar dari IHSG, belum melakukan banyak intervensi.

(Baca: Jokowi Umumkan Dua WNI Positif Virus Corona, IHSG Sesi I Turun 1,02%)

Sehingga, Laksono mengatakan, pihaknya memiliki solusi intervensi yang paling minim karena belum melihat tanda-tanda akan adanya krisis. "Jadi, kami mengingatkan saja dengan kondisi market seperti saat ini. Kami tidak ingin AB memperparah situasi dengan melakukan short selling," katanya.

Adapun transaksi short selling yaitu suatu cara yang digunakan dalam menjual saham di mana investor/trader meminjam dana (on margin) untuk menjual saham (yang belum dimiliki) dengan harga tinggi dengan harapan akan membeli kembali dan mengembalikan pijaman saham ke pialangnya pada saat harga sahamnya turun.

Jurus BEI Tangkal Koreksi Indeks Lainnya

Meski begitu, dia mengatakan jika kondisinya mengharuskan memberlakukan hal yang lebih drastis dan dinamika pasar menghendaki hal tersebut, maka terpaksa Bursa melakukan intervensi lainnya.

Salah satu jurus yang bisa dikeluarkan oleh Bursa untuk mengintervensi pasar modal adalah penerapan batas penghentian perdagangan saham secara otomatis (auto rejection) asimetris. Kebijakan tersebut, merupakan jurus yang akan digunakan oleh Bursa berikutnya jika kondisi pasar modal memang memaksa pihak Bursa untuk menerapkan hal tersbeut.

(Baca: IHSG Turun 14% Sejak Awal Tahun, Berikut Saham yang Berhasil Naik)

"Paling dekat, langkah yang akan kami ambil adalah auto rejection asimetris bila itu perlu. Langkah short selling kami ambil untuk memperingati pasar," kata Laksono.

Kebijakan itu berbeda dengan yang diterapkan oleh bursa saat ini, yaitu auto rejection simetris, yaitu penghentian perdagangan saham secara otomatis, jika mengalami kenaikan atau koreksi drastis berdasarkan fraksi harganya.

Untuk fraksi harga saham Rp 50-200 per lembar otomatis dihentikan perdagangannya, jika perubahannya sampai 35% dalam sehari. Fraksi harga Rp 200-5.000 per lembar, perdagangan berhenti jika naik atau turunnya 25%. Lalu, untuk fraksi harga di atas Rp 5.000 per lembar, otomatis akan berhenti jika naik atau turun hingga 20%.

Sedangkan auto rejection asimetris, persentase penghentian perdagangannya berbeda ketika harga saham naik atau turun. Aturan ini pernah diterapkan bursa pada periode 2008 hingga 2016 lalu.

(Baca: IHSG Anjlok, OJK Izinkan Emiten Beli Kembali Saham Tanpa RUPS)

Saat itu, perdagangan suatu saham bisa dihentikan otomatis, jika naik atau turunnya drastis berdasarkan fraksi harganya. Pada auto rejection asimetris perdagangan saham akan dihentikan saat terjadi penurunan 10% untuk setiap fraksi harga.

Meski begitu, Laksono mengatakan, pihaknya belum menentukan batas bawah penurunan harga saham akan dihentikan secara otomatis. "Batas atas dan bawah belum ditentukan, bisa 10%, 15%, atau 5%. Saat ini kami masih melihat kondisi pasar domestik dan regional. Kami tidak ingin, menjadi yang berbeda diantara yang lain," kata Laksono.

Reporter: Ihya Ulum Aldin