Analis Mirae Asset Sekuritas melihat potensi volume penjualan rokok tahun depan tumbuh stagnan, bahkan lebih lemah dari tahun ini. Ini dengan estimasi kenaikan cukai rokok 10% tahun depan, sedangkan kenaikan gaji bisa jadi tidak setinggi itu.

“Kami memproyeksikan penurunan lebih jauh pada penjualan rokok sigaret putih mesin (SPM), karena mereka akan terkena kenaikan cukai tertinggi dan popularitas mereka yang turun di antara konsumen Indonesia,” kata Analis Mirae Asset Sekuritas Christine Natasya melalui analisis tertulis, Rabu (28/8).

Penurunan pertumbuhan juga diprediksi terjadi pada sigaret kretek tangan (SKT) seiring tren sigaret kretek mesin (SKM). Adapun Hanjaya Mandala Sampoerna (HMSP) melakukan terobosan dengan meluncurkan produk SKM bernama A Filter pada kuartal III 2019 ini.

Sejauh ini, pertumbuhan volume penjualan dari dua produsen rokok besar HMSP dan Gudang Garam (GGRM) tercatat berbanding terbalik. HMSP mencatatkan penurunan pertumbuhan, sedangkan GGRM justru mencatatkan kenaikan pertumbuhan.

(Baca: Penjualan Turun, Pendapatan dan Laba Sampoerna Tetap Naik)

Pada semester I, volume penjualan HMSP tercatat 47,1 miliar batang, turun 1,8% dibandingkan periode sama tahun lalu 48 miliar batang. Penurunan tahunan ini lebih dalam dari semester I 2018 yang sebesar 0,4%.

Pada Mei lalu, Presiden Direktur HMSP Presiden Direktur Sampoerna Mindaugas Trumpaitis menyatakan penjualan turun karena konsumen bergeser ke produk murah. Apalagi, setelah kenaikan cukai rokok sebesar 11% mulai Oktober 2018.

Di sisi lain, GGRM mencatatkan penjualan sebanyak 46,6 miliar batang, naik 14,8% dibandingkan periode sama tahun lalu yang sebanyak 40,6 miliar batang. Pertumbuhan tahunan ini lebih tinggi dibandingkan semester I 2018 yang sebesar 5,18%.

Direktur Gudang Garam Heru Budiman mengatakan, kenaikan penjualan karena beberapa faktor, dari mulai loyalitas pelanggan, kualitas produk, hingga kemudahan mendapatkan produk di pasaran. Faktor lainnya, "Kami menyediakan produk dengan harga hemat," kata dia, Selasa (27/8) lalu.

Sedangkan berdasarkan riset pasar Nielsen, volume penjualan rokok dalam negeri pada paruh pertama 2019 sebesar 118,5 miliar batang, turun 8,6% dibandingkan periode sama tahun lalu. Penurunan tahunan ini lebih dalam dibandingkan semester I 2018 yang sebesar 5,5%.

Harga Saham Murah, Rekomendasi Beli

Meski ada potensi tekanan dari segi volume penjualan, Christine menyatakan pihaknya tetap memberikan status overweight untuk saham HMSP dan GGRM. Ini artinya, saham dianggap prospektif karena berpotensi naik di atas saham acuan pada sektornya.

Terdapat beberapa faktor yang melatar belakangi rekomendasi tersebut di antaranya harga saham kedua emiten yang murah (undemanding valuation). Kemudian, kenaikan anggaran negara untuk kesehatan yang berarti pemerintah akan menghindari kenaikan drastis cukai rokok. “Serta investor yang sudah mengantisipasi kenaikan drastis cukai rokok,” kata dia dalam riset tertulisnya.

Saat berita ini ditulis, harga saham HMSP berada di posisi 2.920, naik 2,46% dibandingkan penutupan sehari sebelumnya. Adapun harga saham HMSP berangsur turun setelah menembus Rp 4.000 per saham pada Maret 2019. Harga sahamnya saat ini yang di kisaran Rp 2.700-2.900 per saham, merupakan yang terendah sejak 2015.

(Baca: IHSG Naik Tipis 0,06% Dipimpin Saham Sampoerna dan Unilever)

Di sisi lain, harga saham GGRM berada di posisi Rp 74.525 per saham, stagnan dari posisi penutupan sehari sebelumnya. Mirip dengan HMSP, harga saham GGRM anjlok tidak lama setelah menembus rekor tertinggi Rp 94.900 per saham pada Maret 2019. Harga sahamnya saat ini yang di kisaran 72.000-76.000 per saham merupakan yang terendah sejak November 2018.