BEI Soroti Kontrak Garuda - Mahata yang Tanpa Rincian Waktu Pembayaran

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Pesawat Citilink di Hangar GMF,  Tanggerang,  Banten (2/3). Garuda Indonesia melalui anak usahanya Citilink Indonesia menjalin kerjasama dengan Mahata untuk penyediaan layanan konektivitas dan inflight entertainment di pesawat-pesawat grup Garuda indonesia.
Penulis: Ihya Ulum Aldin
26/6/2019, 18.04 WIB

Bursa Efek Indonesia (BEI) belum mau mengungkapkan tindakan yang akan dijatuhkan kepada Garuda Indonesia terkait polemik laporan keuangan 2018. Dalam proses pengambilan keputusan tersebut, BEI juga mempertimbangkan kontrak antara Garuda melalui anak usahanya, PT Citilink Indonesia dengan PT Mahata Aero Teknologi (Mahata).

Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan, dalam kontrak yang diteken pada Oktober 2018 tersebut diatur bagaimana Mahata wajib memenuhi secara pembayaran penuh kepada Garuda. Adapun Garuda wajib menerima pembayaran atas hak yang diberikan kepada Mahata untuk pemasangan perangkat.

"(Tapi) tidak ada hal yang detail diatur (dalam kontrak), once para pihak tidak menjalankan kewajibannya," kata Nyoman di Gedung BEI, Jakarta, Rabu (26/6). Seperti diketahui, dalam kontrak berdurasi 15 tahun tersebut, Mahata bakal membayarkan US$ 239,94 juta.

Nyoman pun mengatakan, jika tidak ada perincian lebih detail mengenai waktu pembayaran sehingga bisa saja pembayaran tersebut dapat dilakukan 15 tahun kemudian. Padahal, nilai tersebut sudah dimasukkan sebagai pendapatan sejak Laporan Keuangan Garuda 2018. "Iya, betul (tidak ada rincian soal pembayaran), itu juga yang sudah kami pertanyakan," katanya.

(Baca: Sanksi Denda dan Pembekuan Izin Membayangi Auditor Lapkeu Garuda)

Nyoman menyampaikan, informasi-informasi mengenai detail dari kontrak maupun dari berbagai pihak sudah dikantongi pihak Bursa secara lengkap. "Informasi-informasi tersebut, kami sudah lengkap. Don't worry, kami sudah sampai penelahaan dokumen," katanya.

Selain melakukan penelusuran dokumen, BEI telah melakukan pertemuan dengan berbagai pihak sebagai pertimbangan pengambilan keputusan. Selain memanggil Manajemen Garuda, BEI juga mendengarkan masukan dari Dewan Standar Akuntansi Keuangan dari Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI). Lalu berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

IAPI mengusulkan, masalah laporan keuangan ini tidak bisa selesai hanya dengan penurunan opini. Ketua Umum IAPI Tarkosunaryo berharap perusahaan melakukan penyajian ulang (restatement) laporan keuangannya. "Karena yang paling pokok kan laporan keuangannya," katanya ketika dalam forum diskusi di kantornya, Jakarta, Jumat (21/6).

Ia menjelaskan, penyajian laporan keuangan adalah tanggung jawab perusahaan. Sedangkan pemberian opini adalah tanggung jawab Kantor Akuntan Publik (KAP). Penurunan opini bisa saja dilakukan, tapi perbaikan laporan keuangan tak kalah penting.

(Baca: Sri Mulyani: Ada Kejanggalan pada Laporan Keuangan Garuda Indonesia)

Kasus laporan keuangan maskapai pelat merah itu bermula dari dua komisarisnya, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria, yang menilai pencatatan akuntansi dalam laporan keuangan Garuda Indonesia 2018 tidak sesuai dengan standar pencatatan akuntansi.

Alhasil, keduanya menolak untuk menandatangani laporan keuangan tersebut. Mereka menilai, seharusnya Garuda mencatatkan rugi tahun berjalan sebesar US$ 244,95 juta. Namun, di dalam laporan keuangan malah tercatat memiliki laba tahun berjalan sebesar US$ 5,01 juta.

Reporter: Ihya Ulum Aldin