BEI: Garuda Indonesia Perlu Jelaskan Detail Perjanjian dengan Mahata

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Pesawat Garuda di Hangar GMF,  Tangerang,  Banten (2/3).
Penulis: Rizky Alika
29/4/2019, 19.12 WIB

Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna mengatakan pihaknya belum melihat detail perjanjian dalam laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk tahun 2018. Oleh karena itu, ia akan memanggil manajemen dan auditor Garuda untuk menelisik perjanjian Garuda dengan PT Mahata Aero Teknologi (Mahata).

"Karena kalau dalam catatan laporan keuangan Garuda, kami tidak sampai detail melihat perjanjiannya," kata dia di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Senin (29/4).

Pemanggilan akan dilakukan pada Selasa besok (30/4) pagi. Menurut Nyoman, manajemen dan auditor Garuda Indonesia memastikan akan memenuhi panggilan tersebut. Rencananya, BEI akan melihat pola transaksi Garuda Indonesia dengan menelisik kontrak, perjanjian, maupun detail transaksi Garuda dengan Mahata.

Ia berharap, pihak Garuda Indonesia akan membawa dokumen kontrak dan perjanjian pada pertemuan besok. Dengan demikian, BEI dapat mengetahui latar belakang permasalahan tersebut, sehingga bisa dihubungkan bagaimana pencatatan pengakuan atas pendapatan tersebut sesuai dengan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan).

Pemanggilan serupa tidak akan dilakukan BEI kepada Mahata. Sebab, laporan keuangan yang diajukan Garuda Indonesia dinilai menjadi tanggung jawab manajemen Garuda, bukan Mahata.

(Baca: Dua Komisaris Garuda Indonesia Menilai Perusahaan Harusnya Merugi)

Sebelumnya, dua Komisaris Garuda Indonesia, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria menolak laporan keuangan Garuda Indonesia. Mereka menilai pencatatan akuntansi dalam laporan keuangan tersebut tidak sesuai dengan PSAK.

Menurut mereka, seharusnya Garuda Indonesia mencatatkan rugi tahun berjalan senilai US$ 244,95 juta atau setara Rp 3,45 triliun (kurs Rp 14.100 per dolar AS). Namun, di dalam laporan keuangan malah tercatat memiliki laba tahun berjalan senilai US$ 5,01 juta setara Rp 70,76 miliar.

Keberatan dua komisaris Garuda Indonesia tersebut didasarkan pada perjanjian kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan yang ditandatangani oleh anak usaha Garuda Indonesia, yakni PT Citilink Indonesia dengan Mahata. Menurut mereka, komitmen dari Mahata yang sebesar US$ 239,94 juta tidak dapat diakui sebagai pendapatan dalam tahun buku 2018.

Jumlah tersebut termasuk pendapatan dan piutang Mahata terhadap PT Sriwijaya Air sebesar US$ 28 juta ditambah PPN sebesar US$ 2,8 juta yang merupakan bagian bagi hasil Garuda Indonesia. Seperti diketahui, perjanjian pengadaan wifi antara Mahata dengan Citilink diperluas ke Grup Garuda Indonesia. Sriwijaya saat ini merupakan bagian dari grup tersebut.

Reporter: Rizky Alika