Bursa Efek Indonesia (BEI) bakal menggelar pertemuan dengan direksi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk pada Selasa, 30 April 2019. Pertemuan tersebut untuk memperjelas transaksi pendapatan perusahaan yang tertera dalam laporan keuangan Garuda tahun lalu.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan, Bursa telah berkoordinasi dengan maskapai penerbangan pelat merah tersebut. Bursa akan meminta penjelasan kepada Garuda Indonesia secara tertulisan dan lisan terkait dua komisarisnya yang menolak laopran keuangan 2018.
"Terkait berita mengenai Laporan Tahunan Garuda 2018, Bursa telah dan sedang mempelajari, khususnya terkait dengan perjanjian dan pengakuan pendapatan," kata Nyoman kepada awak media, Kamis (25/4).
(Baca: Dua Komisaris Garuda Indonesia Menilai Perusahaan Harusnya Merugi)
Secara terpisah, Direktur Utama BEI Inarno Djajadi mengatakan, Bursa ingin meminta klarifikasi kepada direksi Garuda. Namun, ia belum memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan Bursa kepada perusahaan berkode saham GIAA itu. "Tidak tahu (apakah disuspen atau tidak) karena terlalu dini. Kami mau klarifikasi saja laporan keuangannya," kata Inarno kepada Katadata.co.id.
Berdasarkan data dari RTI Infokom, saham Garuda terkoreksi hingga 7,60% menjadi Rp 462 per saham pada perdagangan Kamis (25/4). Dengan catatan tersebut, selama sepekan terakhir saja harga saham Garuda sudah terkoreksi hingga 12,0%. Sedangkan, dalam sebulan sudah terkoreksi 13,64%.
Dua Komisaris Garuda Tolak Laporan Keuangan 2018
Dua Komisaris Garuda Indonesia, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria, menyoroti pencatatan akuntansi pada laporan kinerja keuangan perusahaan tahun buku 2018. Mereka menilai pencatatan akuntansi dalam laporan keuangan tersebut tidak sesuai dengan standar pencatatan akuntansi. Alhasil, mereka menolak untuk menandatangani laporan keuangan tersebut.
Mereka menilai, seharusnya Garuda Indonesia mencatatkan rugi tahun berjalan senilai US$ 244,95 juta atau setara Rp 3,45 triliun (kurs: Rp 14.100 per dolar AS). Namun, di dalam laporan keuangan malah tercatat memiliki laba tahun berjalan senilai US$ 5,01 juta setara Rp 70,76 miliar.
(Baca: RUPST Garuda Indonesia Rombak Susunan Pengurus Komisaris dan Direksi)
Keberatan mereka didasarkan pada perjanjian kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan yang ditandatangani oleh anak usaha Garuda Indonesia, yakni PT Citilink Indonesia dengan PT Mahata Aero Teknologi (Mahata). Menurut mereka, komitmen dari Mahaka yang sebesar US$ 239,94 juta tidak dapat diakui sebagai pendapatan dalam tahun buku 2018.
Jumlah tersebut termasuk pendapatan dan piutang Mahata terhadap PT Sriwijaya Air sebesar US$ 28 juta ditambah PPN sebesar US$ 2,8 juta yang merupakan bagian bagi hasil Garuda Indonesia. Seperti diketahui, perjanjian pengadaan wifi antara Mahata dengan Citilink diperluas ke Grup Garuda Indonesia. Sriwijaya saat ini merupakan bagian dari grup tersebut.
(Baca: Garuda Akan Konversi Utang Sriwijaya Air Jadi Saham Hingga 51%)
Laporan Keuangan Garuda Indonesia Menyesatkan
Berdasarkan dokumen yang didapatkan oleh awak media tertanggal 2 April 2019, sikap kedua komisaris tersebut didasarkan kepada tidak ada pembayaran yang telah dilakukan oleh Mahata meskipun telah terpasang satu unit alat wifi di Citilink. Bahkan dalam perjanjian dengan Mahata, tidak tercantum ketentuan pembayaran atau term of payment karena pada saat itu kedua pihak masih bernegosiasi tentang tata cara pembayaran.
Selain itu, menurut Chairal dan Dony, sampai sekarang tidak ada jaminan pembayaran yang tidak dapat ditarik kembali (seperti bank garansi atau instrumen keuangan yang setara) dari pihak Mahata kepada Garuda Indonesia. Padahal, jaminan pembayaran tersebut merupakan instrumen yang menunjukkan kapasitas Mahata sebagai perusahaan yang bankable. Mahata hanya memberikan Surat Pernyataan Komitmen Pembayaran Biaya Kompensasi.
(Baca: Garuda Indonesia Optimistis Catatkan Laba di Akhir Tahun Ini)
Dalam Perjanjian Mahata juga terdapat pasal pengakhiran yang menyatakan Citilink dapat mengakhiri sewaktu waktu dengan alasan bisnis. Padahal, menurut Penyataan Standar Akutansi Keuangan (PSAK) nomor 23, dapat diterimanya pendapatan harus diukur dengan pendapatan tetap atau jaminan yang tidak dapat dikembalikan dalam suatu kontrak yang tidak dapat dibatalkan.
Menurut mereka, dengan pengakuan pendapatan seperti itu berdampak pada laporan keuangan tahun buku 2018 yang seharusnya membukukan kerugian yang signifikan menjadi laba. Terlebih Garuda merupakan perusahaan publik atau terbuka, ada potensi yang sangat besar atas penyajian kembali laporan keuangan tersebut yang dapat merusak kredibilitas perusahaan.
Dampak lainnya, pengakuan pendapatan ini menimbulkan kewajiban perpajakan, baik pajak penghasilan maupun pajak pertmbahan nilai yang belum waktunya. Tentu, menurut kedua komisaris ini, hal ini dapat menimbulkan beban arus kas (cashflow) bagi perusahaan.