Dirut BEI: Beda Prospek Pasar JP Morgan dan Credit Suisse Hal Biasa

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Direktur Utama BEI Inarno Djajadi memberikan tanggapannya saat konferensi pers mengenai Pengumuman Perdagangan Bursa Efek Indonesia 2018 di Bursa Efek Indonesia, Jakarta Selatan (27/12). Direktur Utama BEI Inarno Djajadi mengatakan dirinya optimis dengan pergantian tahun ini, meski tahun depan memasuki tahun politik. Justru tantangan terbesar datang dari faktor eksternal yang tak bisa dihindari.
Penulis: Ihya Ulum Aldin
14/2/2019, 19.37 WIB

Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Inarno Djajadi menanggapi santai soal rekomendasi dua sekuritas asing yang berbeda terkait prospek pasar saham Indonesia ke depan. Kedua firma yang saling bertentangan pandangan adalah Credit Suisse dan JP Morgan.

"Biasa saja lah itu," kata Inarno sambil berjalan pergi ketika ditemui di iNews Tower, Jakarta, Kamis (14/2).

Sebelumnya, Credit Suisse memberikan penurunan rekomendasi terhadap pasar saham Indonesia menjadi 10% (underweight) dari sebelumnya 20% (overweight). Sementara JP Morgan malah sebaliknya. JP Morgan justru menilai pasar saham Indonesia akan menjadi salah satu pasar negara berkembang yang akan tumbuh dua digit, sehingga dapat menjadi pilihan bagi investor untuk menambah sahamnya.

"Usai tantangan yang dihadapi banyak ekonomi negara berkembang pada semester II 2018, kami harap awal tahun cenderung melemah, tetapi prediksi siklus menguat pada kuartal II 2019," tutur Head of Currencies, Commodities and EM Research, JP Morgan, Luis Oganes, seperti dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (13/2).

(Baca: Kepanikan Investor Karena Credit Suisse Mereda, IHSG Bergerak Datar)

Prospek dan Tantangan Pasar Modal Indonesia 2019

Head of Institutional Research Thendra Crisnanda mengungkapkan pasar modal Indonesia masih dihadapkan dengan tingginya risiko atas ketidakpastian pasar global. Hal tersebut berpotensi memicu pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan aliran modal keluar.

Ada pun beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh pasar modal dalam negeri tahun ini seperti kekhawatiran investor atas efek nyata dari perang dagang antara Tiongkok dengan Amerika Serikat dan perlambatan ekonomi Tiongkok. Selain itu, berlanjutnya pengetatan moneter global, krisis negara-negara berkembang, serta masih tingginya defisit neraca berjalan dalam negeri masih akan menjadi tantangan.

Meski begitu, Thendra meyakini fundamental ekonomi domestik masih solid. Hal itu ditopang oleh pertumbuhan konsumsi domestik yang menurutnya menjadi benteng pertahanan terkahir bagi Indonesia. "Perekonomian Indonesia diproyeksikan bertumbuh sebesar 5,2% hingga 5,3% di 2019, diikuti dengan estimasi pertumbuhan laba korporasi sebesar 10% sampai 12%," katanya.

Thendra yakin peningkatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpotensi berlanjut hingga ke level 6.746 hingga Semester I-2019 dengan ekspektasi beli. Namun, dia menilai terdapat pola sell on news di paruh kedua 2019. Sehingga pada masa itu, aksi jual investor sangat sensitif dengan kabar yang beredar.

(Baca: Moody's Prediksi Pertumbuhan Ekonomi RI di Bawah 5% pada 2019 dan 2020)

Terkait pasar surat utang, Head of Fixed Income MNC Sekuritas I Made Adisaputra menyatakan pasar surat utang Indonesia tahun ini akan lebih baik dibandingkan dengan kondisi di tahun lalu. Hal itu terkait dari faktor eksternal di mana Bank Sentral Amerika Serikat atau Federal Reverse, terlihat menahan diri untuk melanjutkan kenaikan suku bunganya di tengah ancaman perlambatan pertumbuhaan ekonomi global.

Adapun dari faktor domestik, stabilitas nilai tukar rupiah serta kebijakan pemerintah menurunkan defisit transaksi berjalan dapat menentukan pergerakan pasar surat utang di tahun ini. "Dengan asumsi moderat ke optimis, pasar surat utang negara akan memberikan total return kepada investor berkisar antara 7,50% hingga 10,33%," kata Adisaputra memperkirakan.

Reporter: Ihya Ulum Aldin