KATADATA - Prospek pasar saham dan surat utang negara (SUN) tahun ini diperkirakan bakal lebih baik dibandingkan tahun lalu. Selain faktor kondisi ekonomi domestik yang mendukung, pasar saham dan SUN kian semarak dengan derasnya aliran masuk dana investor asing (capital inflow). Hal ini sejalan dengan lambannya pemulihan ekonomi di negara-negara ekonomi maju, seperti Amerika Serikat (AS).
Dari sisi pasar saham, Presiden Direktur Eastspring Investment Indonesia Riki Frindos memperkirakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan tumbuh double digit alias di atas 10 persen tahun ini. Padahal, sepanjang tahun lalu, IHSG anjlok 12,1 persen dan termasuk lima besar indeks saham paling jeblok di kawasan Asia Pasifik.
Menurut Riki, proyeksi pertumbuhan IHSG di atas 10 persen tahun ini didukung oleh perkiraan pulihnya perolehan laba perusahaan-perusahaan di dalam negeri. Terutama perusahaan yang terkait dengan proyek infrastruktur pemerintah. Meskipun kinerja perusahaan sektor pertambangan masih terpuruk karena rendahnya harga komoditas di pasar dunia. “Perusahaan di Indonesia pada tahun ini akan mencatatkan (kinerja) tertinggi dalam empat tahun terakhir. IHSG dalam dua tahun ke depan akan membaik, kami perkirakan akan positif (naik) double digit tahun ini,” ujarnya dalam seminar bertajuk “Ulasan dan Prospek Pasar 2016” di Jakarta, Senin (14/3).
(Baca: Belanja Modal Akan Dorong Ekonomi Kuartal I Tumbuh Lebih 5 Persen)
Pasar surat utang pada tahun ini juga cukup menjanjikan dengan imbal hasil (yield) yang menarik. Riki melihat biasanya investor mencari yield sebesar 2-3 persen di atas inflasi. Sementara rata-rata yield Surat Utang Negara (SUN) acuan bertenor 10 tahun sebesar 7,8 persen. Dengan inflasi tahun lalu sebesar 3,3 persen dan diperkirakan masih melandai tahun ini, maka imbal hasil SUN saat ini masih sangat menarik di mata para investor, khususnya investor asing. Bandingkan dengan imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) yang hanya sebesar satu persen.
Meski begitu, anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Destry Damayanti mengingatkan, ancaman terbesar perekonomian dunia termasuk Indonesia saat ini masih berwujud perlambatan perekonomian Cina. Saat ini timbul kekhawatiran bank di Cina enggan menyalurkan kredit. Jika ekonominya semakin landai, investor mengkhawatirkan pemerintah Cina akan kembali melemahkan (devaluasi) mata uangnya.
(Baca: Tembus Level Rp 12.000, Darmin: Rupiah Dekati Nilai Fundamental)
Hal itu akan berdampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia, salah satunya dari sisi mata uang rupiah. Destry menghitung, penurunan satu persen ekonomi Cina akan berdampak 0,34 persen terhadap Indonesia. “Rupiah akan tertahan penguatannya. Kalau mata uang emerging market melemah sedangkan rupiah terapresiasi sendiri, tentu akan kehilangan competitiveness-nya,” kata Destry, di tempat yang sama.
Di isisi lain, perkiraan pertumbuhan ekonomi AS yang masih lambat dapat mendorong penguatan rupiah dan mata uang negara-negara yang pasarnya tengah berkembang (emerging market). Pelaku pasar memperkirakan bank sentral AS (Federal Reserve / The Fed) hanya akan menaikan suku bunga acuan Fed rate sebanyak satu kali hingga dua kali menjadi maksimal 0,75 persen tahun ini.
Sedangkan mantan Menteri Keuangan Chatib Basri juga melihat, yield SUN tenor 10 tahun saat ini lebih menarik dibandingkan obligasi ditawarkan AS. Dalam dolar AS, yield SUN yang diberikan oleh pemerintah mencapai 4,6 persen sedangkan imbal hasil obligasi pemerintah AS hanya 1,9 persen.
(Baca: Banjir Dana Asing ke SUN, Rupiah Akan Terus Menguat)
Dalam acara IMF bertema “Advancing Asia”, Chatib Basri mengatakan, komunikasi yang baik dari pemerintah akan menjaga dana asing yang masuk sehingga bertahan lebih lama di dalam negeri. Pasalnya, investor lebih membutuhkan kepastian. Kondisi serupa pernah dialami pada saat krisis 2008. Saat itu, bantuan dari pemerintah sangat dibutuhkan agar investor merasa yakin uangnya aman. “Cuma persoalannya itu biasanya politik,” ujar Chatib.