Tarif Cukai Bakal Naik, Bagaimana Nasib Saham Rokok Tahun ini?

Donang Wahyu|KATADATA
Rokok
Penulis: Ihya Ulum Aldin
22/1/2021, 19.07 WIB

Pemerintah berencana menaikan tarif cukai rokok sebesar 12,5% mulai Februari 2021. Kenaikan ini menekan kinerja perusahaan rokok, di tengah masih rendahnya daya beli masyarakat. Bagaimana nasib saham-saham produsen rokok?

Harga saham emiten rokok pun tertekan di awal tahun ini. Sejak awal tahun, saham PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) turun 2,99% menjadi Rp 1.460 pada Jumat (22/1). Saham PT Gudang Garam Tbk (GGRM) turun 0,37% ke level Rp 40.850 dan saham PT Bentoel Internasional Investama Tbk (RMBA) turun 4,47% menjadi Rp 342.

Saham emiten rokok lainnya PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) melemah 0,93% menjadi Rp 535. Kemudian harga saham PT Indonesian Tobacco Tbk (ITIC) turun 0,77% hingga ke level Rp 645. Penurunan harga saham emiten rokok ini terjadi seiring rencana pemerintah yang akan mulai menaikkan tarif cukai bulan depan.

Analis Reliance Sekuritas Indonesia Anissa Septiwijaya mengatakan, kenaikan cukai rokok memang menjadi tekanan bagi kinerja emiten rokok. Sebab, jika cukai rokok naik, perusahaan rokok juga harus menaikan harga produknya untuk menjaga marginnya.

Meski demikian, jika dilihat dari kenaikan cukai dan harga produk rokok di tahun sebelumnya, pengguna rokok masih tetap membeli. "Sehingga dampaknya tidak terlalu signifikan turun karena memang setiap emiten sudah punya market-nya tersendiri," kata Anissa kepada Katadata.co.id, Jumat (22/1).

Menurutnya, secara kinerja emiten rokok besar seperti PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM) kondisi keuangannya cukup kuat meski mengalami tekanan. Bahkan kinerja keuangannya, dinilai kuat dan stabil.

Gudang Garam mengantongi pendapatan pada triwulan III 2020 dengan nilai Rp 83,37 triliun, tumbuh 2,02% dari periode yang sama tahun lalu. Raihan tersebut, lebih tinggi dibandingkan pesaing terdekatnya yaitu HM Sampoerna yang hanya Rp 67,77 triliun, turun 12,55% secara tahunan.

Selain itu, Anissa menilai harga saham kedua emiten rokok itupun sudah relatif murah. Di pasar, saham GGRM berada di harga Rp 40.850 per saham pada Jumat (22/1). Sementara, pada hari yang sama, harga saham HMSP di pasar Rp 1.460 per saham.

"Selain itu dengan perkembangan vaksin Covid-19 yang positif, daya beli masyarakat bisa mulai recovery sehingga itu katalis positif untuk emiten rokok," kata Anissa.

Analis Penyelia Kanaka Hita Solvera Janson Nasrial menilai kenaikan cukai rokok memang menjadi katalis negatif bagi pendapatan emiten rokok. Tapi, di tengah daya beli yang masih lemah, bisa menyebabkan beralihnya konsumen rokok dari produk berharga mahal.

"Belum pulihnya daya beli konsumen, akan membuat mereka beralih ke rokok yang lebih murah" kata Janson kepada Katadata.co.id, Jumat (22/1).

Janson mengatakan, beralihnya konsumen menggunakan produk rokok yang lebih murah, bisa membawa berkah bagi PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) yang menjual rokok murah. Dengan begitu, Janson meramal kinerja keuangan Wismilak tahun ini malah moncer.

"Mengulangi kejayaannya di 2020 despite adanya kenaikan cukai pajak namun diimbangi dengan naiknya penjualan segmen rokok murah dari WIIM," ujar Janson.

Di antara produsen rokok lain yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, penjualan Wismilak menjadi anomali karena tercatat meroket hingga 38,03% menjadi Rp 1,39 triliun hingga triwulan III 2020.

Wismilak, mampu mengantongi penjualan pada segmen SKT mencapai Rp 334,49 miliar pada triwulan III 2020, naik 18,64% secara tahunan. Beberapa merek pada produk segmen SKT milik Wismilak seperti Galan Kretek, Wismilak Spesial, Wismilak Slim, dan Wismilak Satya.

Sementara itu, analis Panin Sekuritas William Hartanto menilai, kenaikan cukai mampu membuat penjualan emiten rokok menurun. Sebab, produsen rokok bakal menaikan harga produk agar menjaga performa keuangan perusahaan.

Untuk itu, dia menilai harga saham emiten rokok untuk jangka pendek belum menunjukkan potensi penguatan. "Jika untuk investasi jangka panjang, layak. Tapi untuk jangka pendek belum menunjukkan potensi menguat. Jadi rekomendasinya wait and see," kata William.