Prospek Saham Perbankan di Tengah Kenaikan Suku Bunga Acuan

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/ama. Covid-19
Ilustrasi perdagangan di Bursa Efek Indonesia
23/8/2022, 19.24 WIB

Kebijakan Bank Indonesia (BI) mengerek suku bunga acuan sebesar 25 basis poin ke level 3,75% mulai Agustus ini, perlahan mulai meninggalkan era suku bunga rendah. Hal ini, tentunya akan turut berimbas pada pelaku industri perbankan Tanah Air untuk turut menyesuaikan suku bunga kredit mereka menjadi lebih tinggi. 

Gubernur BI Perry Warjiyo, mengatakan bahwa keputusan kenaikan suku bunga merupakan langkah preventif dan forward looking, mengingat adanya risiko kenaikan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi dan pangan. 

"Kebijakan ini untuk memperkuat stabilitas rupiah dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang semakin kuat," kata dia. 

Merespons hal ini, Vice President Infovesta Utama, Wawan Hendrayana menilai, naiknya suku bunga acuan BI akan mengakibatkan adanya potensi penurunan terhadap penyaluran kredit.

Meski begitu, bank-bank di Indonesia tetap masih berpotensi mendulang laba seiring masih besarnya ruang ekspansi perusahaan yang membutuhkan pendanaan dari bank. Tidak hanya itu, kata Wawan, tingkat suku bunga di Indonesia masih terbilang relatif rendah. 

“Kebutuhan pendanaan masih besar dan emiten berani berekspansi dengan aktivitas ekonomi yang baik, dengan asumsi tidak ada pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM)  ketat lagi,” kata Wawan kepada Katadata.co.id, Selasa (23/8).

Sementara itu, Analis Kanaka Hita Solvera, William Wibowo berpendapat, naiknya suku bunga akan membebani profitabilitas terutama bagi emiten-emiten yang memiliki rasio pinjaman terhadap ekuitas (debt to equity ratio/(DER) yang tinggi. Beberapa emiten yang memiliki DER yang cukup tinggi misalnya, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) dengan DER 16,37 kali dan  PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat Tbk (BJBR) dengan DER 11,14 kali.   

Lalu mengenai kondisi saham perbankan, William mengatakan jika kinerja perbankan masih terjaga. Sebabnya karena permintaan nasabah menyimpan uangnya di deposito juga akan naik sebagai efek dari kenaikan suku bunga. 

“Perlu diingat pula bahwa kenaikan 7DRRR bisa menjadi pedang bermata dua,” katanya saat dihubungi Katadata.co.id, Selasa (23/8). 

Dia menuturkan bahwa meskipun suku bunga kredit ikut naik, daya beli masyarakat bisa ikut turun karena bunga pinjaman turut naik. 

Rekomendasi Saham Perbankan

Dalam risetnya, Mirae Asset Indonesia memaparkan, perbankan di Indonesia masih terus bertumbuh. Mengacu laporan M2 Bank Indonesia, tercatat kredit perbankan nasional masih tumbuh sebesar 10,7% secara tahunan pada Juni 2022. Posisi ini terus meningkat apabila dibandingkan pada Mei lalu yang hanya naik 8,7% secara tahunan, motor pertumbuhannya adalah berlanjutnya pemulihan ekonomi. 

Dari angka tersebut, bisa terlihat tanda pertumbuhan pinjaman secara tahunan yang dapat melebihi 10% sejak Mei 2019. Berdasarkan penggunaan pinjaman, pinjaman modal kerja memimpin pertumbuhan sebesar 12,6% secara tahunan atau yoy. Sedangkan, pinjaman investasi mengalami kenaikan yang signifikan menjadi 10,2 secara tahunan. 

Sementara itu, kredit konsumer tumbuh sebesar 6,9% secara tahunan, terutama dikontribusi oleh naiknya kredit multiguna dan mobil. Pinjaman juga tumbuh secara bulanan sebesar 2,6% di ketiga jenis pinjaman. Hal ini menandakan ekspansi pinjaman yang berkelanjutan.

Mirae merekomendasikan agar investor tetap mencermati saham-saham empat bank berkapitalisasi pasar besar di Indonesia dengan rekomndasi beli, yakni PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), dengan target harga Rp 9.000 per saham, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) Rp 6.100 per saham. Sedangkan, target harga PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) diperkirakan di level Rp 11.000 per saham dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) di harga Rp 10.900 per sahamnya.

 

Reporter: Patricia Yashinta Desy Abigail