Rupiah Melemah Dekati 15.500/US$, Emiten di Sektor Ini Bakal Terdampak

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.
Ilustrasi. Pelemahan rupiah turut berimbas kepada IHSG dan emiten terkait, terutama yang aktivitas bisnisnya berkaitan dengan aktivitas impor.
18/10/2022, 13.44 WIB

Pelemahan nilai tukar rupiah yang saat ini kian mendekati level Rp 15.500 per US$ bakal membebani kinerja emiten di Bursa Efek Indonesia, khususnya bagi perusahaan yang bisnisnya berkaitan dengan aktivitas impor atau memiliki eksposur utang yang besar dalam denominasi dolar AS. 

Tercatat, Senin kemarin (17/10) di pasar spot, nilai tukar rupiah berada di level Rp 15.468 per dolar AS dan pada Selasa (18/10) pagi, rupiah berada di level Rp 15.470 per dolar AS. Para analis bahkan memproyeksikan, rupiah bakal menyentuh Rp 15.500. Lantas, bagaimana dampak melemahnya rupiah terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan emiten terkait?

Head of Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Roger M.M, mengatakan dampak pergerakan rupiah secara tidak langsung memang mempengaruhi IHSG. Namun demikian, jika rupiah melemah, hal tersebut bukan satu-satunya yang menjadi pemicu tertekannya IHSG.

Menurutnya, salah satu faktor utama yang menekan IHSG yaitu data ekonomi global yang masih menunjukkan inflasi yang cukup tinggi. Di Amerika Serikat misalnya, pada September 2022 tingkat inflasinya masih mencapai 8,2% secara tahunan. Hal ini memicu kekhawatiran pelaku pasar, The Fed masih akan agresif menaikkan suku bunga. Faktor tersebut turut menjadi pemicu pelemahan IHSG.

Ia menyampaikan, beberapa sektor akan terkena imbas baik negatif maupun positif jika mata uang garuda makin terpuruk. "Bagi beberapa emiten importir tentunya akan merasakan kenaikan cost mereka karena selisih nilai tukar, justru bagi eksportir malah mendapat keuntungan selisih kurs," kata Roger saat dihubungi Katadata.co.id, Selasa (18/10).

Tapi secara umum, katanya, pelemahan rupiah yang terus menerus akan menjadi tantangan emiten ke depan. "Tentunya Bank Indonesia juga perlu menjaga level rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya," pungkasnya.

Head of Research Jasa Utama Capital Sekuritas, Cheryl Tanuwijaya, mengatakan bahwa rupiah melemah karena dolar masih di level tertingginya. Selain itu, investor masih menantikan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada Kamis (18/10), hari ini.

"Emiten-emiten yang diuntungkan yaitu emiten yang porsi pemasukan ekspor besar dalam bentuk US$ seperti saham-saham komoditas. Tantangannya, bisa menggerus laba emiten yang bahan baku atau porsi utang US$-nya besar," kata Cheryl, saat dihubungi Katadata.co.id. 

Selain itu, Vice President Infovesta Utama Wawan Hendrayana, menyampaikan penguatan dollar memang terjadi karena suku bunga The Fed yang terus naik. "IHSG sendiri terus tekoreksi hingga sekitar level 6.800, salah satunya karena faktor pelemahan rupiah akan berdampak pada emiten yang melakukan impor bahan baku," ungkap Wawan.  

Saat ini, katanya, pasar sudah mengantisipasi (price in) pelemahan rupiah dengan ekspektasi sekitar Rp 15.500 per US$ dan menunggu langkah berikutnya dari The Fed. Bank Indonesia sendiri diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga bila The Fed naik pada bulan November nanti.

"Katalis positif yang dapat diharapkan dalam jangka pendek yaitu dari rilis laporan keuangan kuartal 3," pungkasnya. 

Reporter: Patricia Yashinta Desy Abigail