Wall Street ditutup naik tajam seiring dengan pelemahan dolar Amerika Serikat (AS) pada Jumat (30/6) waktu setempat. Kenaikan dipicu dengan data yang menunjukkan kemajuan upaya Federal Reserve atau The Fed untuk menekan inflasi.
Ketiga indeks saham utama AS melonjak, membukukan keuntungan mingguan, bulanan, bahkan hingga triwulanan. Pada paruh pertama 2023, S&P 500 naik 15,9%, sementara Nasdaq Composite melonjak 31,8%, kinerja terbaiknya dalam empat dekade. Nasdaq 100 naik 38,8%, rekor kenaikan paruh pertama terbesarnya. Dow naik 3,8% tahun ini.
Kepala Strategi Pasar di Carson Group di Omaha Ryan Detrick, mengatakan, kenaikan tersebut salah satu awal terbaik tahun ini untuk Nasdaq dan nama-nama saham teknologi berkapitalisasi besar. Walaupun saham-saham teknologi merupakan grup saham yang sempat mengalami masa suram pada 2022.
"Pasar terus memanjat tembok kekhawatiran yang dipicu oleh optimisme seputar AI, yang merupakan pendorong pertumbuhan baru di sektor pertumbuhan utama," kata Kepala Strategi Investasi CFRA Research Sam Stovall, seperti mengutip Reuters, Sabtu (1/7).
Di sisi lain, Laporan Pengeluaran Konsumsi Pribadi (PCE) dari Departemen Perdagangan menunjukkan inflasi lebih rendah dari perkiraan pada bulan Mei. Sementara belanja konsumen tiba-tiba melambat, memberikan bukti lebih lanjut bahwa rentetan kenaikan suku bunga Fed memiliki efek yang kuat.
"Kami pikir The Fed akan menaikkan suku pada bulan Juli karena mereka telah memberi tahu kami bahwa itulah yang ingin mereka lakukan, tetapi mereka juga mengingatkan kami bahwa mereka bergantung pada data," kata Stovall.
Menurutnya, jika data terus menunjukkan pelemahan, The Fed akan memutuskan untuk mengakhiri program kenaikan suku bunga setelah pertemuan mendatang.
Adapun, Dow Jones Industrial Average naik 285,18 poin atau 0,84% menjadi 34.407,6. S&P 500 naik 53,94 poin atau 1,23%, jadi 4.450,38. Serta Nasdaq Composite menambahkan 196,59 poin atau 1,45%, menjadi 13.787,92.
Saham Eropa ditutup lebih tinggi, membukukan kenaikan 0,9% untuk kuartal dua. Akibat sentimen melemahnya harapan untuk pemulihan Cina pasca Covid-19. Serta adanya kekhawatiran yang terus berlanjut atas kebijakan bank sentral yang membatasi menahan reli ekuitas yang dimulai awal tahun ini.