Debat Panas Hilirisasi, Bagaimana Kinerja Saham Tambang Nikel di BEI?

Dokumentasi perseroan
Ilustrasi produk nikel
Penulis: Syahrizal Sidik
22/1/2024, 14.58 WIB

Perdebatan calon wakil presiden soal kebijakan hilirisasi nikel mengemuka dalam debat keempat yang digelar Komisi Pemilihan Umum pada Minggu malam (21/1) kemarin. 

Sentimen ini membuat saham-saham yang terkait dengan pertambangan nikel di bursa,  pada perdagangan awal pekan ini, Senin (22/1) kompak bergerak naik. Saham PT Aneka Tambang (ANTM), misalnya mengalami kenaikan 0,30% ke level Rp 1650. Lalu, PT Vale Indonesia Tbk (INCO), terangkat pada posisi Rp 4.090 per saham di awal sesi.

PT PAM Mineral Tbk (NICL) juga melaju di zona hijau pada level Rp 216 per saham. Sementara saham PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) terdongkrak 1,05% ke posisi Rp 965 per lembarnya. 

Sebagaimana diketahui, dalam debat semalam, calon wakil presiden nomor urut dua, Gibran Rakabuming Raka menyampaikan soal besarnya potensi sumber daya alam pertambangan Indonesia. “Kita punya cadangan nikel terbesar di dunia, timah terbesar nomor dua. Oleh karena itu, program hilirisasi harus dilanjutkan dan diperluas cakupannya,” kata Gibran. 

Bila mengacu pada data United States Geological Survey (USGS), pada 2022 lalu, mayoritas cadangan nikel global  berada di Indonesia sebesar 21 juta ton, Australia 21 juta ton, dan Brasil 16 juta ton. Tiga negara ini secara kumulatif menguasai 58% dari total cadangan nikel global.

Sementara, bila dilihat dalam kurun waktu tiga belas tahun terakhir, ekspor nikel dan barang daripadanya mencatat kenaikan signifikan. Jika di tahun 2010, ekspor nikel baru mencapai US$ 1,43 miliar, maka pada akhir 2023 ini, jumlahnya sudah melejit menjadi US$ 6,81 miliar berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS). Sementara, untuk fero nikel, nilainya lebih besar lagi menjadi US$ 15,29 miliar dibanding 13 tahun lalu yang hanya US$ 373,49 juta. 

Menanggapi hal ini, calon wakil presiden nomor urut satu, Muhaimin Iskandar menilai kebijakan hilirisasi di sektor pertambangan tidak bisa dilakukan secara serampangan. Hilirisasi haruslah memperhatikan berbagai aspek seperti ekologi, sosial hingga penyerapan tenaga kerja lokal. Cak Imin menyinggung, justru saat ini industri nikel sedang dirundung banyak masalah, mulai dari banyaknya tenaga kerja asing, kecelakaan di smelter hingga kecilnya pemasukan negara. 

Ia juga menekankan aspek keseimbangan antara manusia dan alam dalam hilirisasi nikel dan tidak bisa ditawar tawar agar pembangunan dapat berkelanjutan dan melibatkan semua pihak. 

“Sehingga produksi yang kita munculkan dari tambang, dari litium dari apapun itu tidak sembrono dan tidak sewenang-wenang bahkan lebih parah lagi tidak mempertimbangkan lingkungan dan keberlanjutan,” ucap Muhaimin. 

Terlepas dari perdebatan keduanya, kinerja saham-saham tambang berbasis nikel di bursa mayoritas menunjukkan kinerja moncer. Saham Aneka Tambang misalnya, melesat 37,5% selama tiga tahun terakhir ini. Emiten tambang BUMN ini meraih laba bersih Rp 2,85 triliun dalam sembilan bulan pertama di tahun 2023. 

Sedangkan, emiten nikel yang baru melantai pada April 2023 lalu saja milik Grup Harita, Trimegah Bangun Persada, sahamnya tercatat naik 3,76% dalam enam bulan terakhir. Sampai September 2023, perusahaan mengantongi laba bersih Rp 4,46 triliun. 

Berikut rincian kinerja saham emiten pertambangan nikel di bursa:

  • Aneka Tambang (ANTM): naik 37,50% tiga tahun terakhir
  • Vale Indonesia (INCO): turun 10,62% tiga tahun terakhir
  • Central Omega Resources (DKFT): turun 42,47% tiga tahun terakhir
  • Harum Energy (HRUM): melesat 181,6% tiga tahun terakhir
  • Resource Alam Indonesia (KKGI): menguat 91,66% dalam tiga tahun terakhir
  • Ifishdeco (IFSH): melesat 141,03% dalam tiga tahun terakhir
  • PAM Mineral (NICL): naik 47,59% setahun terakhir
  • Trimegah Bangun Persada (NCKL): naik 3,76% enam bulan terakhir.