Mitratel Masuk Indeks LQ45, Ini Rekomendasi Anyar Sejumlah Broker

Telkom
Ilustrasi emiten menara. PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL)
Penulis: Syahrizal Sidik
29/1/2024, 13.25 WIB

Sejumlah perusahaan sekuritas memperbarui riset dan rekomendasi untuk saham emiten menara Grup Telkom, PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) setelah masuk dalam jajaran penghuni indeks LQ45. 

Mitratel masuk deretan saham blue chip bersama PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA), PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), dan PT Mitra Pack Tbk (PTMP) dan berlaku efektif mulai 1 Februari 2024. 

Di saat sama, indeks tersebut mengeluarkan PT Indika Energy Tbk (INDY), PT Surya Citra Media Tbk (SCMA), PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) dari jajarannya berdasarkan evaluasi mayor bursa. 

Sinarmas Sekuritas mempertahankan rekomendasi beli dengan target harga Rp 845 per sahamnya. Sementara itu, berdasarkan data IPOT, HSBC Sekuritas menetapkan rekomendasi yang sama dengan target Rp 820 per unit. Sedangkan, BCA Sekuritas merekomendasikan beli dengan target harga Rp 870 per lembarnya.

Analis Sinarmas Sekuritas, Arief Machrus, dalam risetnya menyampaikan saat ini portofolio aset menara Mitratel menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. Hal ini melampaui pesaing terdekatnya, PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) milik Grup Djarum. 

Arief menjelaskan MTEL memiliki strategi dan fondasi keuangan yang solid. Hal ini terlihat dari beban pendapatan per menara per bulan, turun lebih dari 50% menjadi hanya Rp 1,2 juta sejak kuartal I-2023, atau berada di bawah rata-rata industri.

Sinarmas Sekuritas memproyeksikan, pada tahun 2023, pertumbuhan pendapatan MTEL mencapai 10% atau menembus Rp8,33 triliun dibandingkan dengan 2022 yang tercatat Rp 7,73 triliun. Adapun laba bersih diprediksi mencapai Rp 2,58 triliun, meningkat 44% dibandingkan 2022 yang tercatat Rp 1,78 triliun.

Sebagai anak perusahaan Telkom Indonesia, MTEL juga mendapat manfaat signifikan dari portofolio aset menaranya yang luas dan inisiatif strategis seperti fiber to the tower (FTTT) dan power to the tower (PTTT). Dengan 60% portofolio menara MTEL berlokasi di luar Jawa, perusahaan memiliki posisi yang baik untuk meningkatkan peluang kolokasi karena operator jaringan seluler berencana memperluas jangkauan secara nasional. 

"Meskipun pada awalnya terdapat ketertinggalan dalam tenancy ratio dibandingkan dengan perusahaan sejenis, MTEL memperkirakan adanya pertumbuhan kolokasi yang dikombinasikan dengan skala ekonomi sehingga akan memperkuat margin EBITDA,” ungkap Arief, dikutip Senin (29/1). 

Arif menambahkan MTEL memiliki leverage yang rendah dan beban bunga yang minimal. Hal ini akan mendorong margin laba bersih yang lebih tinggi. Selain itu, pada saat ini MTEL diperdagangkan dengan harga diskon dari harga IPO.

Pada awal pekan ini, Senin (29/1), harga saham MTEL bergerak pada rentang Rp 670 sampai Rp 685 per lembar dengan nilai kapitalisasi pasar Rp 56,40 triliun. Sejak awal tahun, saham Mitratel masih terkoreksi 4,26%.