Balada Saham Konglomerat Prajogo dan Haji Isam, Penggerak Baru IHSG

Freepik.com
Ilustrasi.
Penulis: Karunia Putri
Editor: Agustiyanti
8/10/2025, 14.14 WIB

Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG yang beberapa memecahkan rekor tertinggi pada tahun ini banyak ditopang oleh lonjakan harga saham emiten-emiten terafiliasi konglomerat. Beberapa, di antaranya bahkan melesat ribuan persen pada tahun ini. 

Lonjakan harga saham, antara lain terjadi pada emiten-emiten terafiliasi konglomerat Prajogo Pangestu. Harga saham anak bawangnya, PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA) yang baru IPO pada awal Juli lalu telah melesat lebih dari 1.000%.

Harga saham emiten Prajogo lainnya juga melesat ratusan persen sepanjang tahun ini. Harga saham  PT Barito Pacific Tbk (BRPT) melesat lebih dari 300%, PT Petrosea Tbk (PTRO) melonjak lebih dari 150%, dan PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN) naik hampir dua kali lipat.

Kinerja harga saham emiten terafiliasi konglomerat Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam lebih mencengangkan. Salah satunya, PT Pradiksi Gunatama Tbk yang mencatatkan kenaikan harga saham hingga lebih dari 5.000% sepanjang tahun ini. Harga sahamnya naik dari hanya Rp 424 pada awal tahun ini ke level Rp 22.225 hingga perdagangan sesi I hari ini.

Emiten lainnya milik Haji Isam, PT Jhonlin Agro Raya Tbk juga mencatatkan lonjakan harga saham hingga hampir mencapai 1.900%, sedangkan PT Dana Brata Luhur Tbk naik lebih dari 400% sepanjang tahun ini. Harga saham ketiga emiten terafiliasi Haji Isam pada perdagangan sesi I hari ini naik di kisaran 10%, menembus batas atas kenaikan harga saham harian atau ARA.

Managing Partner PT Ashmore Asset Management Indonesia Arief Wana menilai, Indonesia mengalami pergeseran dinamika pasar yang unik. Pergerakan modal kini didominasi oleh saham-saham milik konglomerat. 

Ia mengingatkan, valuasi saham emiten-emiten terafiliasi konglomerat saat ini tergolong tinggi. Karena itu, investor harus berhati-hati jika ingin berinvestasi pada saham tersebut. 

"Banyak sekali saham-saham yang related dengan konglomerat. Itu sekarang sudah lebih besar dibanding sektor bank," ujar Arief dalam sesi talkshow Wealth Wisdom 2025 yang digelar Permata Bank, Selasa (7/10).

Arief menjelaskan, fenomena seperti ini sempat mewarnai pasar saham Amerika Serikat empat tahun lalu. Tren ini disebut sebagai Magnificent Seven. Istilah ini merujuk pada tujuh saham raksasa seperti Apple, Microsoft, Nvidia, Amazon, Meta, Tesla dan Alphabet yang mendorong kinerja indeks saham AS dalam beberapa tahun terakhir.

Adapun pada kondisi Indonesia saat ini. Pasar modal didominasi, yakni saham-saham yang terafiliasi dengan kelompok pebisnis besar, seperti Grup Barito, Grup Djarum, Sinar Mas, Astra, Salim dan lainnya.

“Sekarang, tiga tahun setelah itu, kita di Indonesia juga punya fenomena serupa. Bedanya, bukan lagi tujuh saham, tapi sudah banyak, kita sebut sebagai saham konglomerasi,” ujar Arief dalam sesi talkshow Wealth Wisdom 2025 yang digelar Permata Bank, Selasa (7/10).

Hal yang menarik, menurut Arief adalah nilai valuasi saham-saham tersebut kini lebih besar daripada saham-saham sektor perbankan, yang dulu selalu menjadi penopang utama IHSG. Menurutnya, sekitar 35–40% kapitalisasi pasar kini dikuasai oleh saham konglomerasi.

Meski begitu, Arief menilai, hal tersebut bukanlah sesuatu yang buruk, melainkan tanda berubahnya dinamika pasar saham Indonesia. Ia pun mengimbau agar investor lebih bijak dan berhati-hati membaca dinamika pasar.

“Kalau kita bicara price to earning ratio atau P/E, ada saham yang P/E-nya mencapai 100 kali, bahkan lebih dari 600 kali,” katanya.

Dengan asumsi pertumbuhan laba 10% per tahun, menurut dia, butuh waktu antara 25 hingga 47 tahun agar investor bisa balik modal dengan valuasi saham sebesar itu.

Sebagai perbandingan terhadap valuasi saham konglomerat saat ini, ia menceritakan, saham-saham unggulan (blue chip) seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang lima tahun lalu memiliki P/E di kisaran 13–14 kali, dan sempat mencapai P/E tertinggi 25 kali .

“Waktu saya jadi analis tahun 1998-2011, saham paling mahal itu Unilever, dan P/E tertingginya hanya 30 kali. Sekarang ada yang 600 kali,” ujarnya.

Ia menjelaskan, tingginya rasio price to earnings (P/E) saham konglomerasi disebabkan kinerja keuangan perusahaan. Ia mencontohkan, ketika para konglomerat tidak menemukan peluang investasi yang dinilai menarik di luar, mereka cenderung menyalurkan dananya kembali ke perusahaan sendiri, baik dalam bentuk belanja modal (capex) maupun pembelian sahamnya sendiri.

Akibatnya, harga saham konglomerasi bisa terus naik, bukan semata karena fundamental, tapi karena didorong modal internal dan sentimen kepercayaan pasar. Karena itu, Dia pun mengingatkan agar investor lebih berhati-hati terhadap saham-saham konglomerasi.

"Mesti bijak untuk masuk investasi ke suatu saham, bukan hanya sekedar ikut-ikutan saja," kata dia.

Senada dengan Arief, Chief Economist Permata Bank Josua Pardede menyatakan, belakangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditopang oleh saham-saham konglomerasi dan saham lapis dua (second liner). Ini berbeda dari tahun-tahun sebelumya yang ditopang oleh saham-saham unggulan.

Kendati demikian, dia menilai, ketika fundamental ekonomi Indonesia akan kuat, seperti pertumbuhan PDB positif, inflasi terkendali, dan investasi meningkat maka investor akan lebih percaya diri membeli saham-saham blue chip. Hal ini bisa membuat reli pasar lebih merata, tidak hanya bertumpu pada sektor atau kelompok tertentu.

"Sehingga memang kalau tadi pertumbuhan ekonomi kita fundamentalnya terus membaik, tentunya akan ada optimisme juga bahwa saham blue chip atau first liner pun juga akan terus menguat," kata Josua.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Karunia Putri