PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. berhasil memperbaiki kualitas kreditnya. Rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) per Desember 2018 berada pada level 2,75%, turun dari 3,18% tahun sebelumnya. Ini merupakan rasio NPL terendah sejak triwulan I-2016 yang berada level 3,18%. Pada akhir 2015 NPL Bank Mandiri ada pada level 2,6%.
Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, keberhasilan Bank Mandiri menurunkan rasio NPL-nya karena pergeseran fokus penyaluran kredit Bank Mandiri dari segmen komersial dan small medium enterprises (SME) atau usaha kecil menengah (UKM) ke segmen korporasi, mikro dan konsumer.
"Kami bergeser dari agresif di segmen usaha menengah, sekarang kita geser ke segmen korporasi dan ritel. Sehingga, kita menurunkan risiko portofolio menjadi lebih baik," kata Tiko, panggilan akrabnya, di Plaza Bank Mandiri, Jakarta, Senin (28/1).
(Baca: Rencana Bisnis 2019, Mandiri Ingin Akuisisi Bank Kelas Menengah)
Tahun lalu, pertumbuhan kredit di segmen korporasi, mikro, dan konsumer tumbuh agresif. Kredit segmen korporasi tumbuh 23,3% menjadi Rp 325,8 triliun, mikro tumbuh 23% menjadi Rp 102,4 triliun, dan konsumer tumbuh 11,6% menjadi Rp 87,4 triliun.
Sementara itu kredit segmen komersial dan UKM mengalami penurunan. Kredit segmen komersial turun 8,5% menjadi Rp 142,6 triliun, dan kredit segmen UKM turun 7,7% menjadi Rp 56,8 triliun.
Sepanjang 2018 Bank Mandiri juga telah melakukan hapus buku (write off) kredit bermasalah hingga mencapai Rp 13 triliun untuk menurunkan rasio NPL-nya. "Harapannya tahun ini kami tidak akan melakukan hapus buku sebesar tahun lalu. Sehingga perbaikan NPL dapat dilakukan jauh lebih berhasil," kata Tiko.
Dengan rasio NPL yang membaik, Tiko mengungkapkan Bank Mandiri dapat memangkas alokasi biaya pencadangan menjadi Rp 14,2 triliun dari Rp 15,9 triliun pada tahun sebelumnya. Selain itu, biaya operasional juga dapat ditekan sehingga rasio biaya terhadap pendapatan atau cost to income ratio turun dari 45,60% menjadi 44,41%.
(Baca: Bank Mandiri Cetak Laba Bersih Rp 25 Triliun di 2018)