BKF Pantau Risiko Utang BUMN Kecil, Jauh di Bawah 6% dari PDB

Arief Kamaludin|KATADATA
Suahasil Nazara
6/10/2017, 22.56 WIB

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, risiko fiskal dari utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) relatif kecil. Sebab, rasio utang BUMN maksimal hanya 6% terhadap PDB.

“Setahu saya risikonya relatif kecil, hanya sekitar maksimum 6% dari PDB, kita masih jauh dari situ,” kata Suahasil kepada Katadata, Jumat (6/10). Menurut dia, alokasi yang terpakai baru sepersepuluh dari 6% tersebut. (Baca juga: Sejumlah Indikator Keuangan PLN yang Membuat Sri Mulyani Was-was)

Ia menambahkan, rasio utang pemerintah juga masih aman bila rasio utang BUMN yang maksimal 6% ditambahkan ke rasio utang pemerintah yang sebesar 29% terhadap PDB. Sebab, jumlahnya baru 35% terhadap PDB.

Adapun sesuai ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara, rasio utang dianggap aman bila di bawah 60% terhadap PDB. "Itu masih jauh dari angka 60%,” ucapnya. (Baca juga: Masalah Keuangan PLN Dikhawatirkan Bisa Pengaruhi Rating Utang RI)

Menurut Suahasil, kecilnya risiko fiskal dari utang BUMN juga karena yang berkewajiban membayar utang tersebut adalah BUMN. Meskipun, utang tersebut dijamin pemerintah lantaran untuk membangun proyek pemerintah.

Ia mencontohkan PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mengambil utangan untuk membangun pembangkit listrik 35 Giga Watt (GW). "Banyak BUMN kan sebenarnya mereka penjaminan pemerintahnya hanya karena dia dimiliki pemerintah. Bukan karena benar-benar dijamin," kata dia. (Baca juga: Ketimbang Utang, BUMN Diminta Sekuritisasi Aset untuk Cari Dana)

Risiko utang BUMN menjadi sorotan setelah bocornya surat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tentang penurunan kinerja keuangan PLN bocor ke publik. Sejatinya, surat tersebut ditujukan untuk Menteri BUMN Rini Soemarno serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan bocor ke publik.

Dalam surat tersebut, Sri Mulyani di antaranya memaparkan bahwa dalam tiga tahun terakhir, Kementerian Keuangan harus mengajukan keringanan (waiver) kepada pemberi pinjaman (lender) PLN karena terlanggarnya perjanjian utang (covenant). Langkah tersebut harus diambil Kemenkeu untuk menghindari gagal bayar (cross default) utang PLN yang mendapatkan jaminan pemerintah.