Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi untuk Kepentingan Perpajakan dinilai berpotensi menimbulkan dua masalah terhadap sektor keuangan nasional. Masalah tersebut adalah kepanikan nasabah bank dan kekhawatiran keamanan data tersebut.
Ekonom yang juga Pembina Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas) Aviliani mengatakan urgensi Perppu ini terkait implementasi kesepakatan pertukaran informasi keuangan Automatic Exchange of Information (AEoI). Sehingga urgensinya adalah untuk Warga Negara Asing (WNA) yang ada di Indonesia.
Namun pada kenyataannya Perppu ini juga akan membuka informasi data nasabah domestik yang saldonya di atas Rp 1 miliar. "Harus hati-hati, apalagi masa sosialisasinya pendek. Jangan sampai Perppu ini menjadi negatif," ujar Aviliani saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi XI, di Gedung DPR/MPR RI Senayan, Jakarta, Selasa (18/7).
(Baca: Sri Mulyani Bantah Konspirasi Perppu Buka Rekening dan Tax Amnesty)
Menurutnya hal ini akan menimbukan dua masalah. Pertama, aturan ini akan membuat nasabah domestik menjadi panik, karena banyak yang berpikir saldo di atas Rp 1 miliar akan dikenakan pajak. Masyarakat yang tadinya didorong untuk mengurangi penggunaan uang tunai (cashless), malah akan menarik dananya di bank dan lebih memilih menggunakan transaksi tunai.
Bagi masyarakat yang memiliki dana besar akan memilih untuk memindahkan uangnya tersebut ke luar negeri. Alasannya, di negara lain seperti Singapura, masih memiliki komitmen bersyarat akan perjanjian AEoI. Aviliani berharap jangan sampai Indonesia telah memberikan seluruhnya tetapi negara lain tidak demikian. Oleh karenanya, Aviliani tetap merujuk pada yang telah terjadi saat ini, yakni bisa membuka data nasabah domestik dengan melalui izin tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Permasalahan kedua, terkait kewenangan Direktorat Jenderal Pajak yang akan memiliki akses langsung ke data nasabah asing dan lokal. Banyak masyarakat yang masih meragukan sistem DJP cukup mampu menampung data nasabah perbankan.
Aviliani mendesak agar DJP bisa menggunakan sistem SIPINA OJK atau sistem yang telah dimiliki PPATK. Dia juga meminta Menteri Keuangan untuk memberikan batasan kewenangan akses nasabah bank. Jangan sampai semua Kantor Pelayanan Pajak (KPP) memiliki akses yang berpotensi terjadinya penyalahgunaan data tersebut. "Jangan sampai kasus lalu, oper data menggunakan flashdisk. Kalau datanya kemana-mana bisa disalahgunakan," ujarnya.
(Baca: Jokowi Dorong Modernisasi Sistem Pajak untuk Cegah Penggelapan)
Pendapat yang sama disampaikan oleh Ekonom yang juga Mantan Wakil Kepala BPPN Arwin Rasyid Menurutnya, data rekening nasabah di atas Rp 1 miliar harus diberikan atas dasar permintaan. Karena hal ini bisa menimbulkan kegelisahan dan membuat masyarakat enggan menyimpan uangnya di bank.
"Khawatirnya ini memengaruhi Dana Pihak Ketiga (DPK) dan LDR (rasio jumlah simpanan terhadap kredit) perbankan pun bisa naik dan pengaruhi kemampuan bank menyalurkan kredit baru," ujarnya.
Selain itu, terdapat kendala operasional dari DJP. Menurut Arwin, terdapat 400 ribu nasabah dengan data rekening di atas Rp 1 miliar. Dirinya meragukan data-data tersebut bisa dipegang oleh DJP secara aman. Oleh karenanya, dirinya meminta agar salah satu pasal terkait nasabah domestik dalam Perppu ini pun bisa ditunda pelaksanaannya.
Sementara pendapat berbeda disampaikan mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo. Menurutnya, Perppu tersebut berisi langkah-langkah DJP untuk mengatasi kendala-kendala yang kerap terjadi setiap tahunnya. Bahkan, isi Perppu ini telah dibahas oleh DPR dan pemerintah sejak 16 tahun lalu, dalam mendorong optimalisasi pajak.
Beberapa poin yang dibahas memiliki substansi yang sama dengan Perppu ini, diantaranya terkait program pengampunan pajak. DJP juga harus mendapat akses terhadap nasabah debitur dan kreditur bank, pelaku transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, pemegang kartu kredit, serta laporan keuangan debitur dalam rangka permohonan kredit kepada bank. Kemudian peniadaan pengusutan asal-usul dana para pemegang deposito dan akses data investor saham di pasar modal.
DPR juga telah menetapkan UU 28 Tahun 2007 yang merevisi UU Ketentuan Umum Perpajakan. Salah satu pasalnya (Pasal 35A) berbunyi: Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi, termasuk informasi nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, dan laporan keuangan kegiatan usaha, dan lain-lain kepada DJP. Apabila dipandang kurang, DJP diberi kewenangan untuk menghimpun data dan informasi. Bagi yang tidak menyerahkan akan dikenakan sanksi pidana 1 tahun atau denda Rp 1 Milyar.
"Perppu ini untuk mengatasi kendala yang dihadapi DJP dan sudah diamanatkan sejak lama. Saya berharap pimpinan (Komisi XI) dapat menerima Perppu ini menjadi Undang-Undang," ujarnya. (Baca: Pemerintah Tetap Upayakan Buka Data Nasabah Bila Perppu Ditolak)