Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja menerbitkan aturan yang mewajibkan bank sistemik untuk membuat pedoman berupa rencana aksi (recovery plan) bila terjadi permasalahan keuangan. Rencana aksi ini memuat prosedur dan mekanisme penanganan beragam masalah, serta pihak-pihak yang akan bertanggung jawab.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Haddad menjelaskan, detail mengenai rencana aksi tersebut diatur dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 15 Tahun 2017 yang terbit pada 4 April lalu. Adapun, saat ini, terdapat 12 bank yang ditetapkan OJK sebagai bank sistemik dan wajib membuat rencana aksi.
“Dengan pedoman ini akan ada mekanisme internal yang dibuat aturan internalnya. Ada trigger, misal, karena kekurangan likuiditas, bank sampaikan ke kami rencana aksinya apa sebagai standar. Ini relatif baru (di dunia),” ujar Muliaman di kantornya, Jakarta, Rabu (5/4).
(Baca juga: OJK Rilis 3 Aturan Antikrisis, 12 Bank Masuk Kategori Sistemik)
Bank yang ditetapkan berdampak sistemik, paling lambat harus menyampaikan rencana aksi pada 29 Desember 2017. Dalam rencana aksi itu, bank harus menetapkan opsi pemulihan untuk merespons bila terjadi tekanan keuangan (financial stress). Tujuannya, untuk mencegah, memulihkan, maupun memperbaiki kondisi keuangan serta kelangsungan usaha (viability) bank tersebut.
Adapun, opsi pemulihan harus meliputi setiap indikator dalam rencana aksi yaitu permodalan, likuiditas, rentabilitas dan kualitas aset. Selain itu, mencakup pula trigger level dari setiap indikator. Trigger level merupakan tingkatan opsi pemulihan mulai dari kegiatan pencegahan, pemulihan, dan perbaikan dari kondisi yang membahayakan kelangsungan usaha bank sistemik.
(Baca juga: OJK Klaim Kondisi Normal, Tak Ada Bank Yang Diawasi Intensif)
Selain mengatur soal kewajiban bank sistemik membuat rencana aksi, peraturan anyar OJK tersebut juga mencantumkan kewajiban pemegang saham pengendali alias ultimate shareholders, dan atau pihak lain untuk menambah modal bank sistemik. Selain itu, diatur juga langkah untuk mengubah jenis utang atau investasi tertentu menjadi modal, bila bank mengalami permasalahan solvabilitas.
Sehubungan dengan hal ini, maka bank sistemik wajib memiliki instrumen utang atau investasi yang memiliki karakteristik modal. Kewajiban ini harus dipenuhi paling lambat 31 Desember 2018. (Baca juga: Bank BUMN Hapus Buku Kredit Macet Rp 24,8 Triliun, Melejit 41 Persen)
Bank sistemik juga wajib melakukan evaluasi dan pengujian (stress testing) dan memperbaharui rencana aksinya. Hal ini diperlukan agar bank bisa mengantisipasi dan mengambil tindakan tepat dan sedini mungkin untuk setiap kondisi yang dapat mengganggu atau membahayakan kelangsungan usahanya.