Pemerintah Didorong Kenakan Cukai Minuman Ringan dan Kendaraan

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Miftah Ardhian
Editor: Yura Syahrul
7/2/2017, 14.40 WIB
Pemerintah didorong melakukan perluasan pengenaan cukai. Ekstensifikasi itu terutama terhadap tiga produk yang dinilai perlu adanya pengendalian konsumsi. Selain untuk menekan konsumsi, langkah tersebut bertujuan meningkatkan pendapatan negara.
 
Anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Andreas Eddy Susetyo menyatakan, pengenaan cukai saat ini masih fokus pada satu produk, yaitu rokok. Hal itu tercermin dari pendapatan cukai rokok yang menyumbang sekitar 90 persen dari total pendapatan cukai.
 
Menurut dia, jangan sampai pelaku usaha di industri rokok menganggap pemerintah berlaku tidak adil dalam penerapan Undang-Undang Bea dan Cukai karena tidak menyasar bidang usaha lainnya. "Nanti pelaku usaha rokok bisa melakukan class action karena merasa diperlakukan tidak adil," ujar Andreas saat diskusi publik bertajuk "Outlook Perpajakan 2017" di Jakarta, Selasa (7/2).
 
Ia menambahkan, pemerintah seharusnya mencari alternatif produk lain yang memenuhi persyaratan sesuai UU untuk dikenakan cukai. Salah satu yang paling memungkinkan adalah minuman ringan berpemanis yang berdampak buruk bagi kesehatan. Pemerintah juga perlu mengkaji produk-produk lain dalam ektensifikasi cukai guna meningkatkan pendapatan negara di tengah seretnya penerimaan perpajakan.
 
Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, ekstensifikasi cukai harus segera dilakukan pemerintah. Sebab, berdasarkan catatannya, kontribusi cukai pada penerimaan cukup besar tetapi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih kecil, yakni 1,2 persen.
 
Artinya, masih banyak potensi produk yang berkontribusi terhadap PDB namun belum dikenakan cukai. Ke depan, Prastowo menyarankan pemerintah mengenakan cukai pada tiga produk utama. (Baca: Gara-Gara Aturan, Penerimaan Bea Cukai 2016 Turun)
 
Pertama, minuman ringan berpemanis. Menurutnya, produk tersebut memenuhi semua persyaratan untuk dikenakan cukai, karena pemerintah harus menekan konsumsi produk tersebut.
 
Alasannya, terdapat 12 juta penduduk Indonesia yang terkena penyakit diabetes, yang alah satu sebabnya bersumber dari minuman ringan berpemanis ini. Selain itu, produk tersebut berkontribusi terbesar pada endemik obesitas, pengeroposan tulang, dan penyakit jantung.
 
Kedua, kendaraan bermotor. Menurut Prastowo, kendaraan bermotor ini juga memenuhi syarat dikenakan cukai. Alasannya, kendaraan bermotor ini menyumbang polusi udara yang cukup tinggi di Indonesia.
 
Selain itu, tidak terkendalinya pembelian kendaraan bermotor ini membuat tingkat kemacetan semakin tinggi, terutama di Jakarta. Memang, telah terdapat pajak khusus yakni Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), namun, hal ini hanya berlaku bagi kendaraan mewah. Sedangkan, menurut Prastowo, pengenaan cukai ini bisa dilakukan pada seluruh jenis kendaraan.
 
Ketiga, produk Bahan Bakar Minyak (BBM). Prastowo mengingatkan, Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) terdahulu, Sudirman Said, pernah mewacanakan dana ketahanan energi untuk menjadi bantalan dalam investasi di sektor Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Namun, rencana tersebut ternyata terbentur oleh UU.
 
 
Karena itu, Prastowo menyarankan agar BBM dikenakan cukai dengan memiliki landasan hukum UU Bea dan Cukai itu sendiri. Pemerintah dinilai perlu mengendalikan konsumsi BBM karena cadangan minyak yang mulai menipis di dalam negeri. Jadi, butuh dana untuk pengembangan dan investasi di sektor EBT. Selain itu, BBM menghasilkan emisi gas buang yang dapat merusak lingkungan.
 
Jadi, menurut Prastowo, apabila pemerintah bisa memaksimalkan pengenaan cukai terhadap ketiga produk tersebut, maka akan ada potensi tambahan penerimaan minimal sebesar Rp 35 triliun dengan tarif minimum atau maksimal bisa mencapai Rp 169 triliun dengan tarif yang tinggi.
 
"Tujuan cukai utamanya memang untuk pengendalian konsumsi tapi bisa jadi alternatif pendapatan. Ini alternatif yang cukup menjanjikan," ujar Prastowo.