Langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil alih pengelolaan perusahaan asuransi AJB Bumiputera dinilai menyalahi aturan. Pengamat asuransi sekaligus pemegang polis Bumiputera, Irvan Rahardjo, mengibaratkan langkah otoritas pengawas sektor keuangan di Indonesia tersebut seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
OJK mengambil alih kepengurusan Bumiputera sejak 21 Oktober lalu. Langkah tersebut dilakukan dengan menonaktifkan direksi dan komisaris Bumiputera, lalu menggantikannya dengan tujuh orang pengelola statuter. Para pengelola statuter inilah yang menjadi perpanjangan tangan OJK untuk melanjutkan rencana restrukturisasi di Bumiputera.
Irvan menuding OJK melakukan restrukturisasi tanpa melibatkan pemegang polis yang notabene adalah pemilik perusahaan. "Jadi narasi besarnya adalah OJK telah melakukan KDRT,” kata dia kepada Katadata, Rabu (30/11). Sekadar catatan, saat ini ada 6,7 juta pemegang polis Bumiputera yang juga berperan sebagai pemilik perusahaan.
Lebih jauh, Irvan juga mengkritisi skema restrukturisasi yang akan dijalankan di bawah pengawasan pengelola statuter. Sekadar informasi, dalam skema tersebut, seluruh aset Bumiputera telah diturunkan ke anak usaha yaitu PT Bumiputera 1912 (B1912). Anak usaha tersebut sudah dibeli oleh emiten bursa PT Evergreen Invesco Tbk. (GREN).
Sebagai bagian dari transaksi tersebut, Evergreen akan menggalang dana melalui penerbitan saham baru (right issue). Hasil right issue utamanya bakal digunakan untuk menutup selisih antara aset dan liabilitas (kewajiban/utang) yang mencapai Rp 14 triliun. Hal inilah yang memunculkan pertanyaan, bagaimana porsi kepemilikan pemegang polis di Evergreen setelah rights issue tersebut dijalankan.
(Baca juga: Pertaruhan “Akrobat” Penyelamatan Bumiputera)
Menurut Irvan, OJK seharusnya tidak perlu membuat skema restrukturisasi yang rumit semacam itu. Sebab, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Bumiputera telah mengatur soal tata cara restrukturisasi bila terjadi kerugian bisnis yang tak bisa ditutup.
Anggaran dasar juga semestinya dipakai selama belum ada payung hukum khusus untuk asuransi mutual seperti diamanatkan undang-undang tentang perasuransian, baik UU Nomor 2 tahun 1992 maupun yang terbaru UU Nomor 40 tahun 2014.
Dalam anggaran dasar Bumiputera dijelaskan, bila perusahaan mengalami kerugian yang tak bisa ditutup oleh cadangan umum, dana jaminan likuiditas dan ekuitas lainnya, maka solusinya adalah sidang luar biasa yang digelar Badan Perwakilan Anggota (BPA).
Tujuannya, untuk memutuskan Bumiputera dilikuidasi atau terus berdiri. Jika terus berdiri, apakah akan mempertahankan bentuk usaha mutual atau mengubah menjadi bentuk usaha lain.
Adapun pembubaran Bumiputera bisa dilakukan dengan permintaan sekurang-kurangnya separuh plus satu dari total pemegang polis yang mewakili 2/3 uang pertanggungan Bumiputera. “Kan tidak sulit, OJK berargumen sulit bicara dengan seluruh pemegang polis. Cuma setengah plus satu. Itu pun 2/3 dari keseluruhan uang pertanggungan. Tinggal bicara pemegang polis besar seperti Jasa Marga, Krakatau Steel,” kata dia. Jalan keluar seperti ini pernah dilakukan oleh perusahaan asuransi berbentuk mutual lainnya.
Ia pun meyakini, langkah tersebut tidak akan membuat adanya penarikan dana alias rush oleh pemegang polis Bumiputera yang merasa khawatir. Sebab, lagi-lagi pemegang polis, menurut Irvan, adalah pemilik.
“Kalau membayangkan rush money, itu pemiliknya bukan konsumen. Konsumen duitnya di tangan orang lain (maka rush). Sedangkan mutual itu uang itu ada di tempat di mana dia adalah pemilik, itulah kenapa mutual bisa bertahan,” kata dia. Selain itu, selama lebih 100 tahun berdiri, Bumiputera tidak pernah dilanda rush meski saat krisis ekonomi.
Di sisi lain, Irvan menilai, langkah restrukturisasi yang diambil OJK saat ini tidak memiliki landasan hukum. Sebab, belum ada payung hukum tersendiri untuk asuransi mutual.
Sedangkan OJK tidak bisa menggunakan kacamata perseroan terbatas (PT) untuk mengukur tingkat kesehatan perusahaan mutual. “Kementerian Keuangan belum mengeluarkan (peraturan khusus), OJK sudah melakukan restrukturisasi,” katanya.
Irvan menambahkan, meski kewajiban Bumiputera lebih besar dibandingkan asetnya, kewajiban itu bukan utang ke kreditur yang serentak jatuh tempo sehingga harus segera dibayar. Kewajiban tersebut adalah nilai pertanggungan hingga 2077.
“Bumiputera berutang ke siapa? Tidak ada,” kata dia, kecuali ke pemegang polis yang adalah pemilik. Jadi, sebenarnya tidak ada kebutuhan mendesak untuk mencari dana dalam jumlah besar, apalagi melalui right issue Evergreen. (Baca juga: "Penyelamatan" Bumiputera Terganjal Dokumen Rights Issue Evergreen)
Irvan pun melontarkan solusi lain untuk mengatasi persoalan keuangan Bumiputera. Misalnya, instruksi dari pemerintah agar BUMN membeli polis Bumiputera. Pilihan lainnya adalah kemitraan strategis dengan bank agar Bumiputera bisa memasarkan produk bancassurance-nya. Selain itu, mengembangkan aset propertinya yang strategis. "Sudah ada kajiannya, (properti) di lima titik saja, bisa menutup (selisih)," katanya.