Rencana penerbitan obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN) puluhan triliun rupiah di akhir tahun ini diyakini sejumlah ekonom tak membuat pengetatan likuiditas di pasar. Namun mereka tetap menyarankan agar pemerintah berkoordinasi dengan bank sentral guna mengantisipasi risikonya.

Ekonom dari Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, meyakini obligasi masih bisa diserap pasar tanpa menggangu likuiditas secara umum. Sebab, likuiditas di pasar masih cukup banyak. Apalagi dengan adanya aturan Otoritas Jasa Keuangan yang mewajibkan 20 persen investasi institusi keuangan non-bank (IKNB) dalam bentuk obligasi negara.

“Sebagian (IKNB) belum penuhi ketentuan itu. Bisa potensi beli banyak,” kata Lana kepada Katadata, Jumat, 23 September 2016. (Baca juga: Defisit Bertambah, Pemerintah Siapkan Obligasi Rp 39 Triliun).

Selain itu, bank sentral juga sudah mengantisipasi rencana pemerintah dengan memangkas suku bunga acuan, BI 7-Day Repo Rate, sebesar 0,25 persen ke level lima persen. Langkah tersebut, belajar dari tahun lalu, diyakininya menambah uang beredar di pasar.

Sementara itu, meski mengakui likuiditas di pasar cukup, ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai otoritas moneter tetap harus berkoordinasi dengan pemerintah. Naiknya rilis obligasi negara tetap dikhawatirkan membuat perebutan dana masyarakat (crowding out effect). Koordinasi ini penting supaya salah satu indikator likuiditas perbankan, yakni rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (LDR) tetap terjaga sehingga crowding out effect dapat diminimalkan.

Concern saya adalah apabila pemerintah menambah penerbitan SUN (Surat Utang Negara), ada kecenderungan crowding out effect yang menyebabkan pertumbuhan DPK (Dana Pihak Ketiga) melambat. Sehingga, pada akhirnya, kemampuan bank dalam menyalurkan kredit terbatas,” ucapnya.

Sejauh ini, Josua memantau likuditas di pasar uang cukup besar. Hal itu terlihat dari penempatan ekses likuiditas perbankan pada instrumen BI -seperti deposit facility, reverse repo, sertifikat deposito BI, atau sertifikat BI- mencapai Rp 339 triliun hingga awal pekan ini. Selain itu, penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) satu persen sejak awal tahun juga menambah likuiditas hingga Rp 37 triliun.

Senada dengan Josua, Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual memperingatkan BI dan pemerintah untuk saling bahu-membahu. Dengan demikian, dapat mengantisipasi dampak berlebih kebijakan tersebut terhadap likuiditas di pasar. “Kalau tahun lalu kan tiba-tiba, seperti nggak ada koordinasi. Akhirnya likuiditas mengetat, suku bunga bank juga sempat naik di atas 10 persen,” kata David.

Sementara itu, Ekonom Senior Kenta Institute Eric Sugandi menduga dampak dari penambahan obligasi terhadap kenaikan suku bunga bank tahun ini lebih kecil dibanding tahun lalu. Sebab, ada arus modal masuk (inflows ) ke obligasi akan membantu menekan imbal hasil obligasi. Inflows yang dimaksud di antaranya terkait dengan repatriasi sebagai buntut kebijakan pengampunan pajak alias tax amnesty.

Pemerintah memang berencana mencari pinjaman untuk menutup defisit anggaran yang diperkirakan bakal membengkak hingga akhir tahun ini. Untuk itu, pemerintah akan menerbitkan obligasi berdenominasi rupiah. Sekedar catatan, hingga 5 September lalu, penerbitan SBN sudah mencapai Rp 549,4 triliun. Mayoritas berasal dari penerbitan Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp 389,3 triliun. (Baca juga: Genjot Ekonomi, Pemerintah Didorong Perlebar Defisit Anggaran).

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara memperkirakan akan ada tambahan utang sekitar Rp 37 - 39 triliun yang harus disiapkan pemerintah. Tambahan utang tersebut dengan asumsi defisit anggaran tahun ini melebar menjadi 2,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar Rp 333,7 sampai 335,7 triliun. Sebelumnya, pemerintah menargetkan defisit 2,35 persen dari PDB atau sebesar Rp 296,7 triliun. Adapun pembengkakan diprediksi hanya 2,5 persen dari PDB.  

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Scenaider Clasein Hasudungan Siahaan menilai langkah tersebut tidak akan mengganggu likuiditas keuangan di dalam negeri. Alasannya, dana yang didapat pemerintah itu akan langsung dibelanjakan kembali. Alhasil, likuditas tersebut akan kembali mengalir ke sistem keuangan dan masyarakat.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Robert Pakpahan mengatakan penerbitan SBN dilakukan pada minggu pertama November sebesar Rp 17 triliun untuk memenuhi defisit anggaran 2,5 persen. Namun apabila ada pelebaran defisitmenjadi 2,7 persen, penerbitan SBN di pasar obligasi dan pasar utang akan ditingkatkan. (Baca: Defisit Melebar, Pemerintah Siapkan Surat Utang Rp 27 Triliun)