Pemerintah Godok Aturan Tax Amnesty untuk Perusahaan Cangkang

ARIEF KAMALUDIN | KATADATA
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Yura Syahrul
19/8/2016, 17.18 WIB

Pemerintah tengah menggodok aturan teknis pengampunan pajak (tax amnesty) bagi perusahaan cangkang atau perusahaan bertujuan khusus (Special Purpose Vehicle/SPV) di luar negeri. Tujuannya memudahkan para wajib pajak yang memiliki perusahaan cangkang di luar negeri untuk mendeklarasikan hartanya.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan, aturan tersebut direncanakan akan terbit dalam satu hingga dua minggu ke depan. “PMK ini terkait perlakuan terhadap struktur SPV sehingga mempermudah mereka dalam mempersiapkan deklarasi,” katanya di Jakarta, Jumat (19/8).

Seperti diketahui, pemerintah telah merilis empat aturan teknis amnesti pajak. Yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 118/2016 tentang pelaksanaan UU Pengampunan Pajak dan PMK 119/2016 tentang tentang tata cara pengalihan harta ke dalam negeri dan penempatan dananya pada instrumen investasi di pasar keuangan. Selain itu, PMK 122 tentang tata cara pengalihan aset atau harta ke dalam negeri dan penempatan dananya pada investasi di luar pasar keuangan dan PMK 123 yang merevisi PMK 119.

(Baca: Tampung Usulan, Sri Mulyani Revisi Aturan Teknis Tax Amnesty)

Menurut Robert, struktur pembentukan SPV milik warga Indonesia ini beragam. Misalnya, ada yang menggunakan nomine satu lapis atau atas nama satu pihak dan bisa langsung balik nama. Namun, ada pula yang menerapkan sistem nomine berlapis-lapis. Alhasil, sulit menutup perusahaan cangkang tersebut untuk kemudian hartanya dibawa masuk ke Indonesia.

Ia menjelaskan, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) telah memberikan usulan beberapa fasilitas yang bisa diberikan pemerintah untuk mengatasi persoalan tersebut. “Itu sedang kami kaji agar membantu mereka sehingga mulus dalam melakukan unwind (menutup) SPV,” kata Robert. Dengan begitu, SPV tersebut bisa membangun perusahaan dengan struktur baru atau bergabung (merger) dengan perusahaan yang sudah ada di Indonesia.

Salah satu jenis fasilitas yang tengah dikaji yakni merger SPV menggunakan nilai buku. Metode ini memungkinkan wajib pajak tidak membayar pajak penghasilan (PPh) atas keuntungan melakukan likuidasi SPV. Caranya adalah, nilai pengalihannya setara dengan nilai buku sehingga keuntungannya nihil.

(Baca: Pemerintah Janjikan Repatriasi Dana di Indonesia Lebih Untung)

Skema ini mirip dengan nomine kepemilikan properti yang bebas pajak jika ingin balik nama. “Ini kan kepemilikan saham (yang dibalik nama), mungkin (SPV) di sana yang mau dibawa ke sini. Yang tercatat namanya orang asing, sahamnya dimiliki si ini (WNI) lalu dibuat satu layer lagi. Panjang itu, melakukan unwind-nya agak kerepotan,” ujar dia.

Robert mengakui fasilitas tersebut memang berdampak terhadap pengurangan potensi penerimaan pajak. Selain itu, tidak sejalan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait kepemilikan aset maksimal. Karena itu, Kementerian Keuangan akan berkoordinasi dengan OJK dan instansi lain untuk menerbitkan PMK anyar tersebut. (Baca: Direktorat Pajak Kantongi 2.000-an Nama di Negara Tax Havens)

Ia mengakui telah mengantongi komitmen dari OJK untuk mempermudah skema penutupan SPV. “Jangan sampai karena ada satu dua kendala, maka jadi tidak atraktif tax amnesty-nya,” ujar Robert.