Ada 9 Pokok Masalah, RUU JPSK Bisa Rampung sebelum Akhir Tahun

Bank KATADATA|Arief Kamaludin
Bank dan sektor jasa keuangan lainnya akan terlindungi oleh UU JPSK. KATADATA|Arief Kamaludin
Penulis: Yura Syahrul
30/11/2015, 20.17 WIB

KATADATA - Pemerintah melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) dan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah sepakat melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Beleid penangkal krisis ekonomi tersebut ditargetkan bisa rampung sebelum akhir tahun ini.

Rapat kerja FKSSK dengan DPR di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin ini (30/11), telah mengidentifikasi 409 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dalam draf RUU JPSK. Dari jumlah tersebut, sebanyak 70 DIM tetap atau tidak ada persoalan. Sedangkan 23 persoalan masih ada masalah redaksional dan 1 masalah penjelasan. Sisanya sebanyak 315 DIM masih terganjal oleh masalah yang substansial.

Karena itu, FKSSK dan DPR sepakat membagi 409 DIM tersebut dalam sembilan kelompok masalah. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro setuju membahas RUU JPSK berdasarkan sembilan kelompok isu strategis tersebut mulai Senin malam ini. Harapannya, RUU JPSK itu sudah bisa diundangkan saat masa sidang DPR berakhir tanggal 18 Desember mendatang. “Yang penting kami bahas substansi, tidak ada yang ketinggalan pembahasan,” katanya seusai rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin sore.

Pembahasan DIM secara per kelompok ini dilakukan agar beleid tersebut nantinya mampu mengakomodasi semua persoalan yang mungkin timbul di kemudian hari. Dengan begitu, upaya pencegahan krisis bisa berjalan lebih baik dan tidak ada lagi bank yang mengalami kesulitan likuiditas hingga harus diselamatkan (bailout) pemerintah seperti zaman krisis tahun 1998 dan 2008. “Tadinya pemberian likuiditas untuk menyehatkan bank, tapi tidak ada satupun bank itu yang sehat. Sejarah 1998 itu cukup menyakitkan bagi rakyat Indonesia,” kata Ecky Awal Mucharam, anggota Komisi XI  dari Fraksi PKS.

Di tempat yang sama, Ketua Komisi XI DPR Fadel Muhammad mengungkapkan, kebanyakan masalah yang masih mengganjal dalam pembahasan RUU JPSK adalah kewenangan penanggung jawab tertinggi dalam pengambilan keputusan untuk menangkal krisis. “Kemudian, (masalah lainnya) yang berhubungan dengan Bank Indonesia (BI) sebagai lender of resort kalau pemerintah kurang (uangnya),” imbuh Fadel.

(Baca: Status Krisis Ekonomi, DPR - Pemerintah Beda Pandangan)

Seperti diberitakan sebelumnya, beberapa anggota DPR menilai presiden yang berwenang menetapkan situasi ekonomi dalam kondisi normal atau tidak normal. Pandangan ini berbeda dari draf awal RUU JPSK yang diajukan oleh pemerintah. “Harus ada presiden. Kalau ada apa-apa, presiden yang tanggung jawab,” kata Fadel. Adapun penetapannya itu berdasarkan hasil kajian Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).

Sedangkan pemerintah berpendapat, hasil kajian empat institusi pemerintah tersebut di atas dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) cukup untuk menentukan kondisi darurat ekonomi. Apalagi, presiden tentu juga akan meminta pandangan dari keempat lembaga tersebut.

(Ekonografik: Beda Krisis 1998, 2008 dan 2015)

Berikut ini pembagian sembilan kelompok isu strategis dalam RUU JPSK yang akan dibahas pemerintah bersama Komisi XI DPR.

1. Pencabutan Peraturan Pengganti UU (Perppu) JPSK (sudah selesai)

2. Ruang lingkup UU JPSK hanya sektor perbankan. Namun, DPR meminta sistem keuangan meliputi lembaga, pasar, dan infrastruktur keuangan. Tujuannya untuk mencegah efek domino krisis, yang meliputi permasalahan pada sistem pembayaran, likuiditas yang mengganggu lembaga keuangan sehingga memicu contangion, dan likuiditas di pasar uang

3. Penyelenggara JPSK. Mayoritas fraksi di DPR mengusulkan,

- KSSK bertugas mengkoordinasikan pemantauan dan stabilitas sistem keuangan sedangkan Dewan Manajemen Krisis bertugas menangani krisis.

- Pemantauan dan mitigasi risiko terhadap stabilitas sistem keuangan (SSK):

a. SSK ditangani oleh berbagai lembaga/otoritas keuangan sehingga membutuhkan mandat atau wewenang yang jelas. Yaitu: BI, OJK, Kemenkeu.

b. Keterhubungan antara kondisi perusahaan dan beragam masalah pada sistem yaitu micro prudential, macro prudential, dan business conduct.

c. Koordinasi antarotoritas dan pertukaran informasi yang melibatkan BI, OJK, Kemenkeu, dan LPS.

d. Penetapan bank berdampak sistemik atau bank SIB (systematically important bank) dan non-SIB.

e. Rencana pemulihan dan penyelesaian krisis oleh OJK, BI, dan LPS.

f. Intervensi awal terhadap permasalahan SSK berupa bantuan likuiditas dan peran BI sebagai Lender of Resort.

- Penanganan krisis meliputi:

a. Mekanisme manajemen krisis

b. Dewan Manajemen Krisis

c. Penetapan credible contingency plan

d. Penjaminan data nasabah

e. Penanganan melalui private solution

f. Penggunaan dana publik.

4. Penetapan dampak sistemik, yang mengikuti mekanisme manajemen krisis.

5. Penanganan masalah bank melalui private solution dan sinkronisasi dengan UU LPS dan OJK.

6. Penanganan masalah likuiditas yang mengikuti penanganan krisis menggunakan dana publik dan sinkronisasi dengan UU LPS dan OJK.

7. Penanganan masalah solvabilitas melalui private solution dan sinkronisasi dengan UU OJK.

8. Penanganan masalah sejumlah bank yang berjumlah masif. Berdasarkan DIM, perlu penegasan fungsi LPS sebagai lembaga penjaminan dan sebagai lembaga penanganan bank gagal (bank resolution), baik yang berdampak sistematik maupun non-sistematik sesuai UU LPS.

9. Perlindungan hukum untuk KSSK. Tersirat adanya keengganan pengambilan keputusan, misalnya pengambilan keputusan dengan musyawarah tanpa hak veto, sehingga perlindungan hukum perlu dipertegas.

Reporter: Desy Setyowati