KATADATA - Badan Legislasi (Baleg) DPR memastikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Nasional akan selesai tahun ini. Dalam pembahasan RUU tersebut, tindak pidana korupsi tidak akan mendapatkan pengampunan.
Wakil Ketua Baleg Firman Subagyo mengatakan insentif ini tidak berlaku bagi pelaku terorisme, narkotika, ataupun perdagangan manusia (human trafficking). Firman juga memastikan, bahwa koruptor bukanlah salah satu yang berhak mendapatkan insentif pajak ini. Meskipun dia mengakui bahwa kebijakan ini juga akan mengampuni sanksi pidana tertentu selain sanksi pajaknya.
“Khusus untuk kasus terkait dengan beberapa poin, yakni teroris dan korupsi, nggak termasuk,” kata dia di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin (12/10).
(Baca: Muncul Wacana Pengampunan Pidana Pajak bagi Koruptor)
Meski demikian, dalam draf RUU Pengampunan Pajak yang diterima Katadata per 1 Oktober 2015, tidak menyebutkan adanya pengecualian bagi pidana korupsi. Dalam pasal 10 disebutkan hanya ada tiga sanksi pidana yang tidak bisa mendapat insentif ini, yakni tindak pidana teroris, narkoba dan perdagangan manusia.
Firman juga memastikan pembahasan RUU ini akan selesai tahun ini, mengingat naskah akademis draf RUU tersebut sudah lengkap. Namanya pun akan diganti menjadi Undang-Undang Pengampunan Pajak. (Baca: Belum Matang, Pembahasan RUU Tax Amnesty Diminta Ditunda)
Dalam pembahasan RUU ini ada dua hal yang belum disepakati. Salah satunya mengenai tarif yang besarannya berbeda yakni tiga persen, lima persen, dan delapan persen, tergantung waktu pelaporannya. Sebagian anggota Baleg berpendapat tarif ini diberlakukan dalam besaran yang sama dan tidak mengacu pada waktu pelaporan dari wajib pajak.
Rencananya, insentif ini akan diterapkan selama delapan bulan. Jangka waktu ini ditentukan agar wajib pajak bisa serius melaporkan dananya. Firman yakin pemerintah memiliki data mengenai aset yang dimiliki oleh wajib pajak. Dengan begitu, adanya pengampunan pajak, negara berpotensi meraup penerimaan pajak hingga Rp 3.000 triliun.
“Kalau setelah dikejar pengampunan, lalu harus bayar lagi (seperti reinventing policy), nggak akan maksimal dapatnya. Katakan (potensinya) Rp 2 triliun atau Rp 3 triliun, hanya dapat setengah saja,” ujarnya.
Firman optimistis kebijakan insentif ini akan bisa optimal meski Indonesia belum dan baru akan mengikuti program pertukaran data otomatis dengan negara lain (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS), yang bisa menangkal praktik penghindaran pajak ke luar negeri. Alasannya, insentif pajak yang sudah diberikan selama ini tetap saja belum mampu menarik dana yang tidak dilaporkan wajib pajak. (Baca: Tax Amnesty Tak Menjamin Uang Kembali ke Indonesia)
Dia menganggap insentif seperti pembinaan pajak (reinventing policy), yang diterapkan Kementerian Keuangan tahun ini, tidak menarik bagi wajib pajak. Insentif ini hanya menghapus sanksi pajaknya saja, sedangkan tunggakan pajaknya masih harus dibayar. Untuk bisa menarik dana wajib pajak, dia sepakat dengan menyediakan payung hukum terkait pengampunan pajak atau tax amnesty.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan draf RUU Pengampunan Nasional belum matang, dan tidak akan optimal jika diterapkan dalam waktu dekat. Selain pemerintah belum memiliki data yang akurat, draf RUU ini pun belum memiliki skema repatriasi yang jelas.
Tidak ada kejelasan mengenai kewajiban wajib pajak menempatkan dananya, seperti di obligasi negara dengan jangka waktu lama. Dengan ketidakjelasan ini, memungkinkan dana itu kembali ke luar negeri ketika insentif tidak lagi diberikan.
“Kalau nggak ada skema yang mewajibkan repatriasi dalam instrumen keuangan, nggak ada jaminan uang kembali. Hanya voluntary saja. Dari sisi penerimaan pajak nggak sebanding dengan risiko pengorbanan yang diberikan. Kalau tiga persen misalnya hanya akan dapat Rp 30 triliun. ini harus hati-hati,” kata Pras kepada Katadata.