Presiden Joko Widodo atau Jokowi dikabarkan akan mengeluarkan dekret untuk mengembalikan pengawasan perbankan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke Bank Indonesia. Kemungkinan ini diketahui dari pemberitaan Reuters kemarin (2/7) dengan mengutip dua sumber tanpa nama yang mengetahui persoalan ini.
Menurut sumber tersebut, rencana ini muncul seiring ketidakpuasan Jokowi terhadap kinerja OJK selama pandemi corona. Ia pun menyatakan, mantan Wali Kota Solo tersebut sedang mempertimbangkan mengubah struktur regulasi jasa keuangan dengan mencontoh Prancis. Di negara itu pengawas jasa keuangan berbentuk administrasi independent di bawah bank sentral.
“BI sangat senang tentang ini, tetapi aka nada tambahan untuk key performance indicator, tidak hanya menjaga mata uang dan inflasi, tapi juga pengannguran,” kata sumber tersebut.
(Baca: Jokowi Dikabarkan Ingin Kembalikan Pengawasan Bank dari OJK Kepada BI)
Katadatada.co.id kemarin (2/7) telah berusaha mengonfirmasi hal ini ke Deputi Senior Bank Indonesia Destry Damayanti, Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo, dan Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta. Namun ketiganya mengaku tak mengetahui tentang rencana ini.
Bahkan, Arif justru bertanya balik mengenai informasi itu kepada wartawan Katadata.co.id. Ia mengatakan, “informasi dari mana?” Sementara Anto Prabowo justru menegaskan OJK saat ini sedang fokus menjalankan tigas dan fungsinya. “Itu yang harus diutamakan karena negara ini sedang membutuhkan biaya untuk penanganan covid-19,” katanya.
Kabar dekret ini menjadi serius lantaran hanya berselang lebih kurang seminggu sejak video pidato Jokowi di Istana Negara yang menyinggung reshuffle dan pembubaran badan negara diunggah Sekretariat Kepresidenan. Video yang menayangkan pembukaan rapat paripurna kabinet pada 18 Juni itu menunjukkan Presiden kecewa terhadap kabinetnya karena dinilai tak bekerja luar biasa dalam menangani pandemi corona, termasuk kepada badan negara yang tak cukup membantu mengatasi krisis.
(Baca: Polemik Rangkap Jabatan Komisaris BUMN, Ombudsman Akan Surati Jokowi)
OJK pun menjadi sorotan di tengah pandemi usai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengumumkan Ikhtisar Hasil Pemriksaan Semester II 2019 pada Mei lalu yang menunjukkan kelemaham pengawasan terhadap tujuh bank. Salah satu dari tujuh bank tersebut adalah PT Bank Bukopin Tbk yang mengalami permasalahan pemodalan dan likuiditas. Atas hal ini OJK berjanji akan meningkatkan fungsi pengawasannya.
Tak hanya itu, OJK pun mesti terseret dalam kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya setelah Kejaksaan Agung menetapkan Deputi Komisioner Pengawasan Pasar Modal II OJK berinisial FH sebagai tersangka. Pada saat kejadian, FH menjabat sebagai kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A, yakni Februari 2014-2017.
Dalam kasus ini FH dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 juncto UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 56 KUHP. Kasus Jiwasraya menurut penghitungan BPK telah merugikan negara sebesar Rp 16,81 triliun.
Sejarah Pembentukan OJK
OJK sampai hari ini telah berusia lebih kurang delapan tahun. Badan ini terbentuk melalui kesepakatan DPR dan pemerintah pada akhir 2011 sebagai upaya melakukan reformasi keuangan demi mencegah dampak buruk berulang akibat krisis ekonomi. Indonesia mengalami krisis ekonomi pada 1999 yang memukul sektor jasa keuangan.
Dalam masa-masa menjelang pembentukannya pun OJK telah menuai kontroversi. Lead Financial Sector Specialist Bank Dunia, Srinivas saat itu meminta pemerintah Indonesia berhati-hati melakukan pembentukan OJK di tengah krisis dunia yang belum sepenuhnya mereda.
Namun, Wakil Presiden Boediono saat itu menegaskan UU OJK perlu segera disahkan lantaran penting untuk menentukan arah keuangan Indonesia. Ia menilai OJK cukup efektif menjadi lembaga pengawas lantaran kajiannya sudah dilakukan sejak 1997 saat pemerintah menyiapkan UU BI.
Dasar hukum lembaga ini akhirnya disahkan pada 2012 melalui UU Nomor 21 tentang OJK. Dalam beleid tersebut dikatakan OJK adalah lembaga independen. OJK pun mulai berfungsi pada 31 Desember 2012 dengan permulaan menggantikan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan yang sebelumnya dilakukan Kementerian Keuangan melalui Badan Pengawas Pasar Modal serta Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).
(Baca: Kejengkelan Jokowi dan Ancaman Reshuffle Kabinet Buntut Pandemi)
Fungsi penuh OJK berlaku pada 2013 setelah tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan perbankan diambil alih dari Bank Indonesia. OJK pun tergabung dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sektor Keuangan bersama Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan. Forum ini memiliki tugas utama berkoordinasi menjaga stabilitas sistem keuangan.
Periode antara pengesahan UU OJK sampai lembaga pengawas keuangan ini berjalan penuh pada 2013 disebut pemerintah sebagai masa transisi. Pemerintah saat itu menunjuk Mulia Nasution menjadi Ketua Tim Transisi OJK yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan. Ia bertugas mempersiapkan struktur organisasi, standar prosedur operasi (SOP), dan sistem teknologi informasi.
Saat itu pemerintah pun membentuk Panitia Seleksi (Pansel) Dewan Komisioner (DK) OJK. Nantinya mereka akan menjadi pimpinan OJK yang bersifat kolektif kolegial dan berjumlah tujuh orang ditambah dua orang anggota dari unsur perwakilan ex-officio Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan. Para perwakilan ex-officio ini untuk menjalin koordinasi dan harmonisasi kebijakan antara OJK dan dua lembaga lain itu.
Pansel DK OJK diketuai Menteri Keuangan Agus Martowardojo yang memimpin delapan anggota lainnya. Para anggota pansel ini berasal dari pemerintah, Bank Indonesia, kalangan perbankan, pasar modal, lembaga keuangan non-bank, dan akademisi.
Nama-nama yang telah diseleksi kemudian diajukan ke DPR untuk dilakukan fit and proper test. Akhirnya pada 26 Juni 2012 Muliaman D Haddad terpilih menjadi Ketua DK OJK. Enam orang lain pun terpilih menjadi DK OJK, yakni Nurhaida, Firadus Jaelani, Kusumaningtuti S Soetiono, Nelson Tampubolon, Rahmat Waluyanto, dan Ilya Avianti.
(Baca: Ekonom Menilai Jokowi Perlu Rombak Menteri Ekonomi Saat Ini)