Multifinance Restrukturisasi Pinjaman 4 Juta Nasabah Senilai Rp 124 T

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Ilustrasi. Hingga Mei 2020, mayoritas atau 82% pendanaan perusahaan pembiayaan yang mencapai Rp 282,79 triliun berasal dari pinjaman.
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Agustiyanti
12/8/2020, 18.40 WIB

Bambang mengaku bila restrukturisasi yang dilakukan perusahaan pembiayaan kepada nasabahnya bukan obat yang permanen untuk industri pembiayaan di tengah pandemi. Sehingga, OJK akan mempertibangkan pemulihan pasar, baik sektor riil maupun permintaan masyarakat untuk memutuskan jangka waktu perpanjangannya.

"Kalau itu cepat, perpanjangannya tidak lama. Perkirakan 31 Maret 2021 (POJK) berakhir, perpanjangnya bisa 3 sampai 12 bulan, tapi kami harapkan kurang dari setahun," kata Bambang.

Bambang menilai, langkah restrukturisasi pada industri perusahaan pembiayaan harus dilakukan agar tidak terjadi lonjakan rasio pembiayaan bermasalah atau nonperforming financing secara masif. Namun,setelah restrukturisasi, akan ada permasalahan likuiditas dan solvabilitas yang membayangi perusahaan pembiayaan.

Selain itu, dari sisi arus kas alias cashflow, dinilai akan susah bertumbuh jika arus kas masih kering sehingga akan sulit bagi bisnis perusahaan pembiayaan. "Apalagi perusahaan pembiayaan ini 89% pendanaan dari pinjaman," kata Bambang.

Dari sisi kinerja keuangan perusahaan pembiayaan hingga Mei 2020, laba perusahaan ini tercatat anjlok 64,64% dibandingkan dengan laba pada periode sama 2019. Penurunan laba ini karena pertumbuhan pembiayaan cenderung turun, sementara biaya-biaya yang ditanggung perusahaan pembiayaan cukup besar.

 Seperti diketahui, hingga Mei 2020, piutang pembiayaan perusahaan pembiayaan tercatat senilai Rp 420,25 triliun, turun 6,38% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Hal ini juga menyebabkan rasio NPF perusahaan pembiayaan memburuk, berada di level 4,11%, padahal pada Mei 2019 ada di posisi 2,73%.

"NPF gross pasti naik karena memang pembaginya tidak naik. Sementara kebijakan restrukturisasi, penetapan kualitas tidak begitu bisa menyebabkan NPF itu menjadi menurun," katanya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia  Suwandi Wiratno mengatakan bahwa restrukturisasi pembiayaan kepada debitur ini menyebabkan penurunan pendapatan perusahaan pembiayaan. "Ini salah satu dampak dari pandemi Covid-19 pada industri pembiayaan," kata Suwandi.

Dia melanjutkan bahwa dampak pandemi lainnya yaitu pada kesulitan perusahaan pembiayaan dalam menagih angsuran kepada debitur. Pasalnya, ada pembatasan sosial yang dilakukan di beberapa daerah di tanah air.

Sementara itu, di tengah pandemi, perusahaan pembiayaan masih tetap harus melakukan pembayaran cicilan kepada perbankan ata utangnya. Di sisi lain, perbankan menghentikan pencairan dana kepada perusahaan pembiayaan. "Akibatnya, perusahaan pembiayaan mengalami masalah likuiditas," katanya.

Ia menambahkan bahwa pembiayaan baru menjadi berkurang karena berkurangnya daya beli masyarakat dan likuiditas pembiayaan yang ketat. Rendahnya pembiayaan baru ini, menyebabkan peningkatan NPF akibat kemampuan bayar debitur menjadi berkurang.

Suwandi mengatakan bahwa APPI bersama anggotanya telah menyiapkan strategi untuk tetap bertahan menghadapi pelemahan ekonomi karena pandemi Covid-19. Suwandi mengatakan, industri pembiayaan harus melakukan efisiensi biaya, dan selektif memilih debitur. Selain itu, perlu mencari sumber pendanaan baik dari perbankan, non-bank, obligasi, atau pun pasar modal.

Halaman:
Reporter: Ihya Ulum Aldin