Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat perbankan dalam negeri telah melakukan restrukturisasi kredit dengan total outstanding Rp 932,6 triliun bagi debitur yang terdampak akibat pandemi Covid-19. Nilai restrukturisasi per 26 Oktober 2020 ini, menjadi yang terbesar sepanjang sejarah perbankan di Indonesia.
"Dengan outstanding yang sangat besar, saya kira ini merupakan restrukturisasi yang paling gede sepanjang sejarah saya mengawasi bank dari sejak di Bank Indonesia sampai OJK," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana dalam webinar, Jumat (20/11).
Heru menjelaskan lebih detail, total restrukturisasi tersebut diimplementasikan oleh 100 bank kepada total 7,53 juta debitur yang terdampak pandemi Covid-19. Dari total debitur tersebut, 5,84 juta merupakan debitur UMKM dengan nilai restrukturisasi mencapai Rp 369,8 triliun.
Secara nominal, porsi kredit yang direstrukturisasi oleh industri perbankan, paling banyak dilakukan kepada pelaku usaha non-UMKM. Nilai outstanding restrukturisasi kepada pelaku usaha non-UMKM mencapai Rp 562,54 triliun atau 60% dari total nilai restrukturisasi oleh perbankan.
Restrukturisasi kredit diharapkan berdampak positif bagi debitur dan bank. Bagi debitur, restrukturisasi ini bisa memberikan ruang untuk menata diri di tengah pandemi Covid-19 dengan tetap memenuhi kewajibannya kepada bank. "Sementara untuk bank, restrukturisasi memberikan ruang yang sangat baik untuk menata cash flow (arus kas)," kata Heru.
Dia berharap kredit-kredit yang sudah direstrukturisasi tidak mengalami gagal bayar. Karena, jika 50% dari total kredit yang direstrukturisasi saat ini mengalami gagal bayar, dampaknya akan sangat luar biasa bagi perbankan Tanah Air.
OJK tetap menyarankan perbankan melakukan pencadangan dengan membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) terhadap kreditnya. Padahal, mengacu pada Peraturan OJK 11 Tahun 2020 terkait restrukturisasi kredit di tengah pandemi, debitur tetap dapat dikategorikan lancar, tanpa bank harus melakukan penambahan CKPN.
Menurut Heru, bank perlu membentuk CKPN pelan-pelan sebagai bantalan untuk nasabah yang tidak berhasil direstrukturisasi saat POJK 11 berakhir pada Maret 2022. Bantalan tersebut bisa menahan turunnya permodalan bank, jika debitur yang direstrukturisasi menjadi gagal alias masuk kategori non-performing loan (NPL).
Adapun, POJK 11 tahun 2020 tentang restrukturisasi kredit di tengah pandemi Covid-19 sejatinya hanya berlaku satu tahun sejak diterbitkan dan berakhir pada Maret 2021. Namun, OJK memberikan perpanjangan satu tahun lagi agar bank tidak memasukkan debitur yang terdampak pandemi Covid-19 sebagai NPL.
Terkait aturan ini, OJK menambahkan substansi yang lebih detail terkait dengan penerapan manajemen risiko yang harus dilakukan oleh bank dalam penerapan perpanjangan restrukturisasi ini. Bank harus memiliki kriteria debitur restrukturisasi yang eligible mendapatkan perpanjangan.
"Caranya dengan menerapkan self assessment terhadap debitur yang dinilai mampu terus bertahan dan masih memiliki prospek usaha, sehingga layak mendapatkan perpanjangan restrukturisasi," kata Heru.
Selain itu, OJK ingin ada kecukupan pembentukan CKPN terhadap debitur yang dinilai tidak lagi mampu bertahan setelah diberikan restrukturisasi pada tahap pertama. OJK pun memberikan syarat terkait pembagian dividen oleh bank dari laba bersihnya, agar mempertimbangkan ketahanan modal atas bertambahnya CKPN.
Pembentukan CKPN alias provisi telah terlihat menggerus profitabilitas bank-bank dalam negeri, setidaknya hingga triwulan III 2020. Akibat memperbesar pencadangan, laba bersih perbankan pun turun dibanding periode yang sama tahun lalu.
Laba PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang turun 4,2% pada triwulan III 2020. Profitabilitas BCA tergerus karena melakukan pencadangan Rp 9,1 triliun atau naik hingga 160,6% secara tahunan. "Kalau kredit itu bermasalah, harus dibikin pencadangan," kata Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja, Senin (26/10).
Adapun, NPL bank swasta terbesar di Indonesia ini tercatat ada di level 1,9% per September 2020, naik dibandingkan September 2019 di level 1,6%. Adapun, BCA telah melakukan restrukturisasi kredit kepada 90 ribu debitur dengan nilai Rp 107,9 triliun per Oktober 2020.
Contoh lainnya, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) yang labanya harus turun hingga 43% karena menaikkan pencadangan hingga 24,2%. Direktur Utama BRI Sunarso menjelaskan prioritas yang dipilih oleh BRI di tengah situasi penuh ketidakpastian, adalah menyelamatkan bisnis dengan memperbesar pencadangan.
"Pilihannya dalam situasi seperti sekarang, kami mengejar laba atau mengejar selamat? Saya memilih selamat dulu," kata Sunarso dalam konferensi pers terkait kinerja triwulan III 2020, Rabu (11/11).
NPL bank yang fokus pada bisnis kredit kepada UMKM ini juga mengalami peningkatan, dari 3,10% per September 2019 menjadi di level 3,12% per September 2020. Sementara, BRI telah melakukan restrukturisasi senilai Rp 193,7 triliun kepada 2,95 juta debitur.