Mengapa Obligasi Indonesia Masih Menarik Saat Imbal Hasil AS Naik?

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/foc.
Ilustrasi. Siluet gedung-gedung bertingkat di Jakarta, Selasa (11/5/2021).
18/5/2021, 08.25 WIB

Investasi obligasi Tanah Air masih menjadi pilihan menarik di tengah naiknya imbal hasil obligasi Amerika Serikat tenor 10 tahun atau US Treasury. Hal ini didukung kesenjangan atau spread antara imbal hasil obligasi domestik dengan obligasi Negeri Paman Sam berkisar 500 basis poin (bps) atau 5%.

Melansir CNBC.com, data inflasi Amerika Serikat pekan lalu naik di luar ekspektasi pelaku pasar ke level 4,2%. Kondisi tersebut ikut menggiring US Treasury menanjak ke level 1,64% dari level sebelumnya di kisaran 1,5%.

Naiknya inflasi AS sekaligus meningkatkan kekhawatiran pelaku pasar kalau Bank Sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed) akan bergeser ke kebijakan moneter yang lebih ketat. Artinya, ada potensi suku bunga acuan dinaikkan dan stimulus dikurangi karena perekonomian Negeri Paman Sam dianggap mulai pulih.

Head of Economics Research Pefindo Fikri C Permana memprediksi US Treasury berpeluang naik dari kisaran 1,5 ke 1,7 % tahun ini. Sedangkan untuk surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun diperkirakan berada di rentang 6 - 6,5 % hingga akhir 2021.

"Spread 500 bps membuat obligasi Tanah Air masih menarik untuk investor asing dan domestik. Jangka pendek atau sebulan ke depan yield SUN bisa di 6,2%-6,3%," kata Fikri saat dihubungi Katadata.co.id pada Senin (17/5).

Semakin tinggi imbal hasil yang ditawarkan obligasi atau surat utang akan memberikan beban lebih bagi penerbit. Di sisi lain, kenaikan yield justru menjadi peluang bagi investor untuk melirik portofolio surat utang.

Rekomendasi Fikri saat ini adalah obligasi pemerintah, karena risiko gagal bayar nyaris tidak ada. Hal tersebut didukung tingkat inflasi Indonesia yang masih terjaga. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan tingkat inflasi tahun ke tahun (yoy) per April 2021 adalah 1,42 %. Level tersebut masih sejalan dengan target inflasi Bank Indonesia (BI) yakni 3 % plus minus 1 %.

Selain itu, prospek pemulihan ekonomi diyakini bisa lebih baik tahun ini. Data BPS melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal pertama 2021 masih minus di 0,74 %. Level tersebut lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang minus 0,96 %.

“Obligasi masih sangat menjanjikan, ditambah fundamental domestik sangat baik. Inflasi terjaga, pertumbuhan ekonomi dalam tren positif,” ujarnya.

Untuk obligasi korporasi, rating atau peringkat surat utang dan perusahaan penerbit obligasi perlu menjadi pertimbangan investor. Demi menghindari risiko gagal bayar atau default, dia menganjurkan untuk memilih obligasi korporasi dengan rating paling baik.

Adapun sektor yang bisa dilirik seperti perusahaan farmasi dan telekomunikasi, karena dianggap minim terkena dampak negatif pandemi. “Sektor yang menuju recovery juga menarik, seperti konsumsi dan properti,” katanya.

Fikri juga mengingatkan perkembangan kasus Covid-19 skala global perlu menjadi perhatian ke depan. Keputusan India, Jepang, Singapura dan beberapa negara lain untuk melakukan lockdown atau pembatasan aktivitas turut meningkatkan risiko akan prospek pemulihan ekonomi global. Kondisi itu juga yang membuat yield SUN belum akan bergerak signifikan sepekan ini.

 Selain itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga menjadi salah satu pertimbangan bagi investor asing untuk melirik obligasi di Tanah Air. Mengutip Bloomberg, Senin (17/5) nilai tukar rupiah ditutup melemah 0,6% ke level US$ 14.282 per dolar AS dari perdagangan sebelumnya.