Data otoritas juga menunjukkan hingga Mei 2021, total outstanding penyaluran pembiayaan mencapai Rp 21,75 triliun atau meningkat 69,06% secara tahunan (yoy). Sedangkan akumulasi penyaluran pinjaman nasional hingga 10 Juni 2021 mencapai 207,07 triliun dengan kualitas yang terjaga dimana tingkat Keberhasilan 90 hari berada pada angka sebesar 98,46%.

“Ini mengindikasikan bahwa tingkat non performance relative masih rendah,” katanya.

Riswinandi menambahkan, pihaknya terus mendorong kegiatan literasi, termasuk memberikan pemahaman kepada masyarakat sekaligus menghindari kerugian akibat pinjaman online. Masyarakat juga dihimbau untuk menggunakan jasa Fintech P2P secara resmi dan terdaftar di OJK.

“Kami memastikan bahwa para pemain fintech resmi memiliki tingkat kepatuhan yang baik terhadap regulasi dan peraturan perundang-undangan yang ada. Kami juga siap untuk memberikan sanksi tega bagi yang terbukti melakukan tindakan-tindakan di luar koridor regulasi,” ujarnya.

Ketua SWI Tongam L Tobing memaparkan banyaknya penyebab utama kemunculan Fintech P2P Lending ilegal. Mulai dari mudahnya membuat aplikasi, situs atau web ilegal, disertai tingkat literasi masyarakat yang masih rendah dan kesulitan keuangan.

Selain itu, masyarakat cenderung tidak melakukan pengecekan legalitas, tidak berpikri matang, sengaja tidak membayar, penghasilan tidak cukup, “hingga kebiasaan untuk gali lobang tutup lobang,”ujar Tongam.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menekankan pentingnya bagi pemerintah untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) perlindungan data pribadi. Apalagi, upaya pemerintah untuk mendorong digitalisasi belum disertai regulasi dan inftastruktur yang memadai.

“Pemerintah kedodoran menangani perlindungan masyarakat. Sementara, masyarakat kita masih dengan mudah menyerahkan data pribadinya, sehingga memudahkan penyedian jasa (fintech) yang tidak punya itikad baik.” ujar Tulus.

Halaman: