Indeks Obligasi Turun 0,22% Sepekan, Imbal Hasil Bakal Ikut Terpangkas

ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Direktur Surat Utang Negara pada Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko Kemenkeu Loto S. Ginting memperlihatkan informasi tentang Savings Bond Ritel (SBR) seri SBR005 ketika peluncuran di Jakarta, Kamis (10/1/2019). Pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) ritel kepada investor individu secara daring, yakni SBR seri SBR005 dengan minimum pemesanan sebesar Rp1 juta dan maksimal Rp3 miliar melalui mitra distribusi.
16/8/2021, 17.41 WIB

Turunnya indeks obligasi komposit atau Indonesia Composit Bond Index (ICBI) sebanyak 0,22% dalam sepekan turut memangkas prospek imbal hasil obligasi Tanah Air di sisa akhir 2021. Adapun tren penurunan terjadi di tengah kondisi pasar yang menanti arah kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) alias The Federal Reserve (The Fed) tahun ini.

Direktur Panin Asset Management Rudiyanto menjelaskan, penurunan indeks obligasi terjadi karena kekhawatiran pelaku pasar akan kebijakan tapering off atau pengetatan moneter oleh The Fed. Alhasil, harga obligasi terdampak dan berpotensi mengalami efek konstruktif pada kuartal IV- 2021.

Rudiyanto menambahkan, meski tapering off sudah diantisipasi oleh pasar namun itu tetap berpotensi menimbulkan gejolak harga obligasi di jangka pendek. Dia memprediksi return atau imbal hasil di sisa tahun ini berada di kisaran 5% hingga 7%, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya.

“Mungkin ekspektasi return tidak bisa lagi menuju 8% atau 9% tahun ini. Kemungkinan, return dalam satu tahun kami prediksi di kisaran 5%-7%,” kata Rudiyanto kepada Katadata.co.id, Senin (16/8).

ICBI ditutup pada level 323,87 pada Jumat (13/8), atau turun 0,07% dari perdagangan sebelumnya. Dalam sepekan yakni periode 6-13 Agustus 2021, indeks tersebut turun 0,22% dibandingkan capaian pekan sebelumnya yang naik.

Melansir Databoks, Indeks Komposit Harga Bersih (INDOBeX Composite Clean Price) pada akhir pekan kemarin ditutup di level 120,1 atau terkoreksi 0,36% dari penutupan pekan sebelumnya. Sedangkan, Indeks Komposit Yield Efektif (INDOBeX Composite Effective Yield) ditutup di 5,98 atau naik 1,07% dari penutupan sebelumnya.

Untuk kuartal III-2021 sampai dengan September, dia memperkirakan pergerakan harga obligasi masih berpotensi menguat. “Apabila pengumuman tappering off terjadi di kuartal IV-2021, kemungkinan itu akan menyebabkan gejolak,” ujarnya.

Menurut Rudiyanto, pergerakan obligasi di sisa tahun ini akan dibayangi oleh kebijakan The Fed yang bakal mengetatkan likuiditasnya melalui tapering off. Terlebih, peningkatan pertumbuhan perekonomian AS dilihat dari menguatnya indeks dolar akhir-akhir ini berbpotensi membebani harga obligasi.

Melansir Tradingview, pergerakan indeks dolar AS sepanjang 2021 naik 2,9% dari US$ 89,95 pada 31 Desember 2020 menjadi US$ 92,58 per Senin (16/8). Di mana, level tertinggi yang pernah ditembus tahun ini US$ 93,29 pada 30 Maret lalu.

Kinerja harga Surat Berharga Negara (SBN) melemah seiring adanya potensi kenaikan suku bunga acuan oleh The Fed. Di sisi lain, harga SBN juga tertekan turunnya ekspektasi konsumen terhadap pemulihan ekonomi nasinal yang tersendat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM.

Berdasarkan data Infovesta Utama per Juli 2021, indeks obligasi korporasi mencatatkan pertumbuhan lebih baik sepanjang tahun ini, dibandingkan indeks obligasi pemerintah. Infovesta Corporate Bond Index hingga Juli 2021 tercatat tumbuh 3,2% (year to date/ytd), sedangkan dalam sebulan terakhir (month on month/mom). Sedangkan untuk Infovesta Government Bond Index tumbuh 2,3% ytd dan 1,13 mom.

Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana optimistis kebijakan pengetatan moneter The Fed belum akan dieksekusi tahun ini. Apalagi, Negeri Paman Sam juga masih dihadapkan pada tantangan peningkatan kasus Covid-19 varian Delta. 

"Sampai sekarang The Fed masih terlihat dovish (menerapkan kebijakan moneter longgar). Dengan kondisi tersebut harga obligasi masih akan naik," kata Wawan kepada Katadata.co.id, pekan lalu (10/8).

Selain itu, Wawan menekankan bahwa obligasi Tanah Air masih terbilang murah. Untuk surat utang tenor 10 tahun, yield atau imbal hasil yang ditawarkan masih berkisar 6,2%. "Padahal wajarnya dengan inflasi yang rendah saat ini, bunga deposito 3%-an, obligasi kita masih menawarkan keuntungan dua kali di atas deposito, sehingga investasi obligasi masih menarik,"ujarnya.

Sementara itu, nilai tukar rupiah pada perdagangan hari ini (16/8) ditutup menguat 0,10% di level Rp 14.372 per dolar AS, dibandingkan penutupan akhir pekan lalu yakni Rp 14.388 per dolar AS.

Penyumbang bahan: Nada Naurah (magang)