Rupiah Berpotensi Menguat di Tengah Penantian Data Inflasi

ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Warga menukarkan mata uang dolar AS di sebuah gerai money changer, Jakarta, Jumat (28/2/2020).
1/11/2021, 10.07 WIB

Nilai tukar rupiah dibuka melemah 0,32% ke level Ro 14.213 per dolar AS pada perdagangan pasar spot pagi ini. Meski demikian, nilai tukar diramal menguat di tengah penantian rilis data  inflasi yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS).

Mengutip Bloomberg, kurs garuda berbalik menguat ke level Rp 14.210 pada pukul 09.35 WIB. Kendati demikian level tersebut masih jauh dari penutupan pekan lalu di posisi Rp 14.168 per dolar AS.

Mayoritas mata uang Asia lainnya melemah. Yen Jepang tercatat melemah 0,11%, dolar Hong Kong 0,01%, dolar Singapura 0,06%, dolar Taiwan 0,17%, won Korea Selatan 0,75%, peso Filipina 0,05%, ringgit Malaysia 0,15%, bath Thailand 0,16%. Sedangkan rupee India menguat 0,05% bersama yuan Cina 0,01%.

Analis pasar uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto memperkirakan nilai tukar menguat di kisaran Rp 14.134 per dolar AS, dengan potensi pelemahan di level 14.196.  "Kalau inflasi rendah menunjukkan bahwa real interest rates kita masih menarik dan ada potensi capital inflow," kata Rully kepada Katadata.co.id, Senin (1/11).

Bank Indonesia (BI) sebelumnya memperkirakan harga-harga barang dan jasa akan kembali naik tetapi stabil. Bank sentral memprediksi Indeks Harga Konsumen (IHK) Oktober mengalami inflasi 0,10% secara month-to-month (mtm), secara tahun kalender sebesar 0,91% dan secara tahunan 1,64%.

Inflasi bulan ini terutama disumbang inflasi pada cabai merah 0,07%. Selain itu minyak goreng juga menyumbangkan inflasi sebesar 0,04%, rokok kretek filter sebesar 0,02%, serta cabai rawit, daging ayam ras, dan angkutan udara masing-masing sebesar 0,01%.

Senada dengan Rully, analis pasar uang Ariston Tjendra juga memperkirakan inflasi bulan ini dapat berdampak positif pada pergerakan nilai tukar. Kendati demikian sentimen eksternal dari rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) pekan ini berpotensi menekan rupiah.

Ia memprediksi rupiah akan tertekan di kisaran Rp 14.200, dengan potensi penguatan di kisaran Rp 14.150 per dolar AS. "Pasar menantikan pemberlakuan tapering dan besarannya sehingga kemungkinan nilai tukar regional termasuk rupiah bisa mengalami tekanan mengantisipasi pertemuan FOM," kata Ariston kepada Katadata.co.id, Senin (1/11).

Berdasarkan notulen rapat FOMC September, The Fed berencana mengumumkan langkah tapering off alias pengetatan stimulus pada pertemuan pekan ini. Tapering berupa pengurangan pembelian aset senilai US$ 15 miliar dari pembelian rutin US$ 120 miliar.

Mengacu pada notulen rapat tersebut, kemungkinan tapering akan dimulai paling cepat pertengahan November atau Desember. Meski demikian mereka berulang kali menegaskan bahwa langkah tersebut tidak ada kaitannya dengan kenaikan suku bunga yang sampai saat ini belum pasti kapan akan dimulai.

Sementara pasar mengantisipasi kenaikan bunga acuan AS pada paruh kedua tahun depan. Salah satu pertimbangan utama kenaikan bunga dikarenakan ekspektasi inflasi tinggi yang masih akan bertahan lama hingga tahun depan. 

Di sisi lain, Ariston juga menyebut rupiah masih berpeluang menguat seiring membaiknya sentimen terhadap aset berisiko. Ini terindikasi dari indeks saham utama Asia yang terpantau menghijau pagi ini. "Penguatan indeks dipengaruhi oleh hasil positif laporan penghasilan perusahaan yang terdaftar di tengah pandemi," kata Ariston.

Beberapa indeks Asia yang menguat antara lain, Nikkei 225 Jepang 2,25%, Kospi Korea Selatan dan KSE-100 Pakistan sebesar 0,5%, Taiex Taiwan 0,41%, Strait Times Singapura 0,67%. Sedangkan pelemahan pada indeks Shanghai SE Composite CIna 0,20%, Hang Seng Hong Kong 1,03%, Nifty 50 India 1,04%, Thait Set 50 Thailand 0,20%.

Adapun bursa utama AS juga ditutup menguat pekan lalu. Tercatat, Dow Jones Industrial naik 0,25%, S&P 500 sebesar 0,19% dan Nasdaq Composite 0,33%.

Reporter: Abdul Azis Said