OJK Antisipasi Efek Buruk Normalisasi Negara Maju ke Sektor Keuangan

ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/hp.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso melihat permodalan dan likuiditas perbankan saat ini berada dalam kondisi yang sangat baik.
Penulis: Agustiyanti
20/1/2022, 17.01 WIB

Normalisasi kebijakan stimulus oleh berbagai negara maju akan menjadi salah satu risiko utama bagi industri jasa keuangan pada 2020. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut, akan mempersiapkan sektor keuangan untuk menghadapi tantangan tersebut. 

"Kami akan mempersiapkan sektor keuangan dalam menghadapi normalisasi kebijakan negara maju melalui beberapa kebijakan," ujar Ketua OJK Wimboh Santoso dalam pertemuan tahunan OJK di Jakarta, Kamis (20/1). 

Wimboh menjelaskan, langkah yang akan dilakukan untuk mengantisipasi dampak normalisasi negara maju ke sektor keuangan yakni: 

  1. Percepatan konsolidasi sektor jasa keuangan agar memiliki ketahanan permodalan dan likuiditas. Ini agar sektor keuangan bersiap jika terjadi dampak negatif dari kebijakan normalisasi. OJK juga akan meminta bank dan perusahaan pembiayaan membentuk pencadangan kredit dan pembiayaan agar tidak terjadi efek negatif saat kebijakan restrukturisasi kredit dan pembiayaan dinormalkan pada 2022.
  2. Penataan lebih cepat  Industri reksa dana dan penguatan tata kelola industri pengelolaan investasi
  3. Percepatan dan penyelesaian reformasi IKNB

Wimboh mencatat permodalan dan likuiditas perbankan saat ini berada dalam kondisi yang sangat baik. Rasio permodalan atau capital to adequaty ratio (CAR) perbankan mencapai 26,57% pada akhir tahun lalu, jauh di atas ambang kecukupan CAR perbankan. Kondisi likuiditas perbankan juga berada dalam kondisi yang sangat baik terlihat dari pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 12,21%. 

Selain permodalan dan likuiditas, rasio kredit bermasalah perbankan juga membaik. Non Performing Loan (NPL) gross perbankan turun dari 3,22% menjadi 3%. Sedangkan NPL nett perbankan hanya mencapai 0,8%.

Meski demikian, menurut Wimboh, masih ada pekerjaan rumah besar terutama terkait restrukturisasi kredit perbankan. OJK mencatat, restrukturisasi kredit perbankan hingga November 2021 mencapai Rp 639,6 triliun. Angka ini sebenarnya sudah turun cukup signifikan dibandingkan puncaknya pada kuartal IV 2020 sebesar Rp 830,5 triliun. 

"Kami sudah meminta kepada sektor keuangan untuk membentuk pencadangan. Pencadangan bank saat ini sudah 14,85% atau dalam rupiah Rp 103 trilun. Kami akan minta lebih cepat lagi membentuk cadangan agar saat dinormalkan tidak menimbulkan efek negatif," kata dia. 

OJK juga melihat kondisi industri asuransi dan pembiayaan sangat baik. Permodalan industri Asuransi Jiwa dan Asuransi Umum yang tercermin dari angka Risk Based Capital (RBC) mencapai 539,8% dan 327,3%. Sementara giring ratio  jauh di atas  Giiring ratio turun menjadi 1,98 kali, jauh di bawah ambang batas maksimal 10 kali. 

Selain itu, rasio pembiayaan bermasalah perusahaan pembiayaan juga stabil di 3,53% pada tahun lalu, setelah sempat mecapai 5,6% pada juli 2020. Restrukturisasi peusahaan pembiayaan saat ini mencapai Rp 218,95 triliun terdiri dari 5,2 juta kontrak  atau 60,1% total pembiayaan. 

Dana Moneter Internasional (IMF) sebelumnya memperingatkan potensi gangguan dari pengetatan moneter bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) terhadap perekonomian negara berkembang. Bank sentral AS diperkirakan menaikkan bunga acuan hingga empat kali merespons tekanan inflasi yang meluas.

Selain The Fed, normalisasi atau pengetatan kebijakan juga berpotensi diterapkan oleh banyak negara maju, terutama di Eropa yang kini sedang menghadapi tekanan inflasi.