Jokowi Minta OJK Tak Batasi Waktu Penerapan Restrukturisasi Kredit

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Teller menghitung uang rupiah di Bank BNI KCP Tubagus Angke, Grogol Petamburan, DKI Jakarta, Jumat (03/01/2020).
Penulis: Desy Setyowati
17/2/2022, 06.00 WIB

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak membatasi waktu penerapan restrukturisasi kredit akibat dampak pandemi Covid-19. Tujuannya agar bank dapat menggenjot penyaluran pinjaman untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, berbagai reformasi struktural penting dilakukan untuk mendorong investasi. Sebab, investasi merupakan pendorong pertumbuhan ekonomi di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Maka, peningkatan kredit perbankan penting,” kata Airlangga usai mengikuti Sidang Kabinet Paripurna yang dipimpin oleh Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (16/2).

Ia mendorong agar OJK melanjutkan peraturan atau POJK Nomor 17 Tahun 2021 terkait relaksasi kredit. Aturan ini mengatur kebijakan stimulus perekonomian bagi debitur perbankan yang terkena dampak Covid-19 sampai 31 Maret 2023.

“Diharapkan tidak perlu ada pembatasan waktu,” ujar Airlangga.

Menurutnya, perlu ada penurunan pencadangan dari sisi perbankan. Apalagi, potensi kredit bank dinilai masih tinggi.

“Realisasi saat ini sedikit di atas 5%, dibandingkan Dana Pihak Ketiga (DPK) 12%. Ini masih punya ruang (untuk penyaluran kredit) yang cukup tinggi," kata dia.

Ekonom Senior Chatib Basri mengatakan, sektor perbankan harus mengantisipasi kemungkinan terjadinya perubahan kebijakan pada 2023, baik dari sisi fiskal, moneter maupun relaksasi kredit.

"Tahun depan, terdapat risiko konsolidasi fiskal dan kenaikan bunga bank sentral. Pada saat yang sama peraturan relaksasi kredit oleh OJK akan berakhir," ujar Chatib dalam Side Event Presidensi G20 Indonesia di Jakarta, dikutip dari Antara, Rabu (16/2).

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan melakukan konsolidasi fiskal dengan mengembalikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke level 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun depan. Ini untuk menjaga kesehatan keuangan negara.

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) mungkin menaikkan suku bunga acuan. Ini mengingat inflasi berpotensi meningkat tahun depan.

Menurut Chatib, inflasi Indeks Harga Grosir atau Wholesale Price Index (WPI) saat ini sudah lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi Indeks Harga Konsumen atau Consumer Price Index (CPI). Namun belum ada dampak signifikan dari kenaikan WPI kepada CPI.

"Ini artinya, bisnis belum melakukan passthrough efek kepada konsumen. Mungkin produsen baru akan melakukannya tahun depan," katanya.

Pada saat yang bersamaan, OJK akan menyelesaikan masa relaksasi restrukturisasi kredit pada 31 Maret 2023.

Maka dari itu, ia berharap perbankan bisa mengantisipasi berbagai risiko yang ada pada tahun depan agar stabilitas sistem keuangan tetap terjaga.

Reporter: Antara, Rizky Alika