RUU PPSK Akan Dibawa ke Paripurna Pekan Depan, Apa Saja Poin Utamanya?

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.
Ilustrasi. RUU PPSK rencananya akan dibahas dalam sidang paripurna pekan depan.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
7/12/2022, 17.50 WIB

Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) antara pemerintah dan DPR telah memasuki babak akhir. RUU ini rencananya akan dibawa ke sidang paripurna untuk disepakati oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang pada pekan depan. 

"Rencananya kamis besok (6/12) akan ada raker dengan Menkeu sehingga Selasa (13/12) akan dibawa ke Paripurna," ujar Anggota DPR Hendrawan Supratikno dalam pesan singkat kepada Katadata.co.id, Rabu (7/12). 

Menurut Hendrawan, jadwal paripurna masih harus diputuskan dalam rapat pimpinan. Dengan demikian, agenda tersebut masih dapat berubah. 

Ia juga tak menjabarkan hasil kesepakatan yang diputuskan panja selama pembahasan RUU tersebut. Namun, menurut dia, ada 8.500 DIM yang dibahas antara pemerintah dan DPR. 

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara sebelumnya menyebut RUU PPSK akan mereformasi sistem keuangan di Tanah Air. Menurut dia, ada lima masalah yang dihadapi sektor keuangan di Indonesia sehingga membutuhkan reformasi. 

"Kami saat ini bersama DPR sedang menyiapkan satu reformasi sektor keuangan, bentuknya undang-undang," ujar Suahasil dalam Wealth Wisdom 2022 Permata Bank x Katadata di Jakarta, Selasa (29/11).

Ia menjelaskan, salah satu masalah di sektor keuangan rendahnya literasi keuangan dan ketimpangan akses ke jasa keuangan yang terjangkau. "Ada kelompok masyarakat yang sangat punya akses ke sektor keuangan, ada masyarakat yang melihat pintu masuk bank pun masih ragu," ujarnya. 

Masalah kedua, menurut dia, adalah tingginya biaya transaksi sektor keuangan dibandingkan negara lain. Ini mencakup masalah suku bunga hingga margin bunga bersih perbankan. 

Masalah ketiga, yakni terbatasnya instrumen keuangan. Suahasil menjelaskan, kelompok masyarakat yang memiliki akses lebih besar ke sektor keuangan membutuhkan instrumen keuangan yang lebih banyak. "Kita sering dibandingkan, di Singapura atau negara lain ada instrumen yang kita tidak miliki," ujarnya. 

Masalah keempat, menurut Suahasil. adalah rendahnya kepercayaan dan perlindungan investor kepada konsumen. Menurut Suahasil, penting untuk memperbanyak instrumen keuangan yang dipadankan dengan perlindungan investor. 

Adapun masalah kelima, yakni perlunya penguatan kerangka koordinasi dan peningkatan stabilitas sistem keuangan. "Kami telah membangun ini sejak 2016 melalui UU Pencegahan dan Penenganan Krisis Sistem Keuangan, ini akan diperkuat," kata dia. 

Rencana pembentukan RUU ini sebenarnya sudah didengungkan sejak 2020 dan akhirnya disahkan sebagai RUU inisiatif DPR. RUU ini mulai digodok DPR secara resmi bersama pemerintah sejak awal bulan lalu. 

Berdasarkan draf RUU PPSK yang diperoleh Katadata.co.id pada September 2022 atau sebelum pembahasan dimulai, RUU ini akan mengamandemen sejumlah pasal dalam Undang-undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), Undang-undang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Undang-undang Bank Indonesia, Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan, dan Undang-undang Mata uang. 

Adapun menurut draf tersebut, RUU ini memiliki 19 ruang lingkup. Ruang lingkup RUU ini, terdiri dari: kelembagaan, perbankan, pasar modal, pasar uang, dan pasar valuta asing, perasuransian, asuransi usaha bersama, program penjaminan polis, usaha jasa pembiayaan, usaha modal ventura, dana pensiun, kegiatan usaha simpan pinjam oleh koperasi, lembaga keuangan mikro.

Ruang lingkup RUU ini juga mencakup konglomerasi keuangan, inovasi teknologi sektor keuangan (ITSK), penerapan keuangan berkelanjutan, inklusi keuangan dan perlindungan konsumen, akses pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah, sumber daya manusia, stabilitas sistem keuangan, dan sanksi. 

Berikut beberapa poin penting atau pengaturan krusial yang Katadata.co.id coba rangkumkan berdasarkan draf RUU tersebut:

  • Menkeu Bisa Menentukan saat Rapat KSSK Buntu

Pasal 9 UU PPKSK telah mengatur, pengambilan keputusan dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang harus dilakukan melalui musyawarah untuk mufakat. UU itu juga telah mengatur voting jika  musyawarah tidak tercapai.

Adapun DPR dalam RUU PPSK menambahkan ketentuan bahwa menteri keuangan memiliki kewenangan untuk memutuskan jika voting menemui kebuntuan dalam pasal tersebut. Ini karena DPR dalam RUU PPSK juga memberikan hak suara kepada LPS dalam rapat KKSK sehingga jumlah pengambil keputusan menjadi genap.

  • Melanjutkan Kewenangan BI Membeli SBN 

RUU PPSK akan mengatur kewenangan  BI untuk membeli SBN di pasar perdana dengan merevisi pasal 11 UU Nomor 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Ketentuan soal pembelian SBN oleh BI di pasar perdana tersebut sebetulnya sudah muncul dalam UU Nomor 2 tahun 2020 yang merupakan respons atas penanganan pandemi Covid-19.

Melalui ketentuan pada beleid tersebut,  lahir tiga Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Kemenkeu dan BI yang berakhir tahun ini. Namun, kewenangan BI tersebut hanya berlaku selama pandemi.  Kewenangan BI membeli SBN ini juga memicu kritik dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Perwakilan fraksi PKS Hidayatullah menyebut, pembelian SBN tanpa batasan bisa mempengaruhi persepsi publik terhadap kredibilitas bank sentral dan risiko kepercayaan terhadap sektor keuangan Indonesia. 

  • LPS Jamin Polis Asuransi

RUU PPSK  menambahkan fungsi LPS dari semula hanya menjamin simpanan nasabah perbankan, menjadi lembaga penjamin polis. LPS, antara lain berhak menentukan iuran yang akan dipungut dari perusahaan asuransi, mengelola kekayaan dan kewajiban program penjaminan polis, hingga menetapkan batas nilai pertanggungan yang dijamin program penjaminan polis.

  • Pembentukan Badan Supervisi OJK dan LPS

DPR melalui RUU PPSK meminta OJK dan LPS memiliki badan supervisi atau pengawas, seperti yang sudah dimiliki Bank Indonesia saat ini. Badan Supervisi OJK dan LPS diharapkan  membantu DPR dalam melakukan evaluasi kinerja kelembagaan dan pengawasan. Tujuannya untuk meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparansi dan kredibilitas kelembagaan kedua lembaga negara tersebut.

  • Perluasan Kewenangan BPR

Dalam draf RUU PPSK, nama Bank Perkreditan Rakyat akan diubah menjadi Bank Perekonomian Rakyat. Fungsi BPR juga akan diperluas, mencakup penyediaan layanan penukaran valuta asing hingga transfer dana. 

  • Penerbitan Rupiah Digital

RUU PPSK akan menfasilitasi Bank Indonesia untuk menerbitkan rupiah digital. RUU ini merevisi pasal 2 dalam UU Mata Uang yang hanya menyebutkan bahwa rupiah terdiri dari rupiah kertas dan rupiah logam, dengan menambahkan jenis lain yakni rupiah digital.  Dalam draf RUU PPSK diatur bahwa penerbitan rupiah digital akan dilakukan oleh BI berkoordinasi dengan pemerintah.

Adapun penerbitannya memperhatikan aspek kondisi moneter, kepraktisan sebagai alat pembayaran, pengendalian likuiditas, pengendalian inflasi, keseimbangan jumlah uang yang beredar, keamanan sistem data dan informasi, mitigasi risiko fraud, perlindungan data masyarakat, dan kebutuhan masyarakat.