Peta persaingan bisnis bank digital di Indonesia semakin ketat. Baru-baru ini, Grup Astra mengenalkan bank digital teranyarnya, Bank Saqu. Hal ini makin memperkuat cengkeraman bisnis finansial PT Astra International Tbk (ASII) dan sekaligus menandai kembali masuknya Astra ke bisnis bank setelah menjual PT Bank Permata Tbk.
Bisa dikatakan, semua konglomerasi besar di Indonesia punya bisnis bank digital, atau paling tidak, punya bisnis yang bergerak di sektor keuangan. Sebab, jika merujuk kepada riset Google, Temasek dan Bain & Company, nilai ekonomi digital di Asia Tenggara berpotensi mencapai US$ 330 miliar, itu setara dengan Rp 5.093 triliun.
Motor penggerak utama ekonomi digital itu berasal dari e-commerce yang mencerminkan nilai transaksi barang maupun jasa secara kotor US$ 211 miliar, setara 63,93% dari seluruh total nilai ekonomi digital di Asia Tenggara. Tentu saja, bank digital mempunyai peranan yang krusial dalam menjembatani transaksi keuangan dalam aktivitas ekonomi digital tersebut.
Seturut dengan laju pertumbuhan ekonomi digital, Bank Indonesia juga mencatat, nilai transaksi perbankan digital atau bank digital terus naik. Sampai dengan kuartal ketiga tahun ini, nilai transaksi digital banking di Indonesia tumbuh 12,83% menjadi Rp 15.148 triliun.
Direktur Utama PT Bank Jago Tbk (ARTO), Arief Harris Tandjung, pernah berujar, pada prinsipnya semua bank akan bertransformasi menjadi bank digital, tergantung levelnya. Tidak hanya itu, kekuatan bank digital yang tergabung dalam ekosistem akan mengakselerasi pertumbuhan kinerja bank digital dibanding yang tidak tergabung dalam ekosistem.
“Bank digital itu bukan dikotomi antara bank digital dengan bank konvensional. Semua bank akan memiliki layanan dalam bentuk digital,” kata Arief, dalam wawancaranya dengan Katadata.co.id, belum lama ini.