Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat kembali melemah 0,32% ke level 15.643 pada awal perdagangan Kamis (18/1). Pada akhir perdagangan kemarin, mata uang rupiah ditutup melemah 50 poin walaupun sebelumnya sempat melemah 60 poin di level 15.592.
Pengamat pasar uang Ariston Tjendra menilai Rupiah masih berpeluang melemah terhadap dolar AS karena data ekonomi AS membaik. Data penjualan ritel AS bulan Desember yang dirilis semalam menunjukkan kenaikan melebihi bulan sebelumnya, 0,6% vs 0,3%.
“Membaiknya data tersebut memperkuat sinyal bank sentral AS, The Federal Reserve tidak akan terburu-buru memangkas suku bunga acuannya,” ujar Ariston kepada Katadata.co.id, Kamis (18/1).
Tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS pun masih bertahan menguat. Yield tenor 10 tahun sempat menguat ke area 4.12% dari 4.05%.
Selain karena menurunnya ekspektasi pemangkasan suku bunga the Fed, ketegangan geopolitik yang masih berlangsung terutama di Timur Tengah, juga masih menjadi pemicu pelaku pasar masih ke aset dollar AS sebagai aset aman. Hari ini, potensi pelemahan ke kisaran 15.680 dengan support di kisaran 15.600.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi menilai Gubernur The Fed, Christopher Waller mengisyaratkan pendekatan hati-hati terhadap penurunan suku bunga dan mengatakan bahwa ketahanan ekonomi AS saat ini kemungkinan akan menunda potensi penurunan suku bunga.
“Komentarnya mengirim dolar ke level tertinggi dalam satu bulan, dan juga memicu lonjakan tajam dalam imbal hasil Treasury, dengan tingkat suku bunga 10-tahun melewati angka 4%,” ujar Ibrahim.
Isyarat ekonomi AS lainnya menunggu karena para pedagang memangkas perkiraan penurunan suku bunga di bulan Maret. “Pasar sekarang fokus pada data produksi industri dan penjualan ritel bulan Desember, yang akan dirilis pada hari Rabu.
Dari pasar Asia, rilis Produk Domestik Bruto (PDB) Cina pada kuartal keempat 2023 tumbuh sedikit lebih rendah dari perkiraan, yaitu sebesar 5,2%. Pertumbuhan PDB tahunan mencapai 5,2%, mengalahkan target Beijing sebesar 5% pada tahun 2023. Namun sebagian besar pertumbuhan ini didorong oleh dasar perbandingan yang lebih rendah dari tahun 2022.
“Data yang dirilis pada hari Rabu menunjukkan bahwa negara dengan ekonomi terbesar di Asia ini masih berjuang untuk menopang pertumbuhan dari keterpurukan akibat pandemi COVID-19, di tengah tekanan yang terus-menerus dari belanja konsumen yang lemah, lesunya investasi swasta, dan krisis sektor properti yang sedang berlangsung,” ujarnya.
Ibrahim memperkirakan rupiah akan cenderung bergerak sideways di kisaran 15.400-15.600. Melansir Bloomberg, sejumlah mata uang Asia menunjukkan penguatan terhadap dolar AS. Baht Thailand menguat 0,29%, ringgit Malaysia menguat 0,03%, yen Cina menguat 0,4%, peso Filipina menguat 0,15%, dolar Singapura menguat 0,13%, dolar Hong Kong menguat 0,02%, yuan Jepang menguat 0,15%.