Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan menolak gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) terhadap PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk pada Kamis (21/10). Dalam hal ini, My Indo Airlines yang merupakat kreditur Garuda bertindak sebagai penggugat.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan maskapai milik pemerintah ini selanjutnya akan tetap berfokus pada upaya restrukturisasi kewajiban usaha dan operasinya. "Serta menjamin operasi penerbangan untuk angkutan penumpang dan kargo berjalan normal," katanya kepada Katadata.co.id, Kamis (21/10).
Sidang putusan PKPU bernomor 289/Pdt.Sus/PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst seharusnya dibacakan pada 14 Oktober 2021 namun ditunda menjadi hari ini. Sidang perdana yang akan dihadiri maskapai milik negara ini sebagai termohon berlangsung 27 Juli.
My Airlines merupakan maskapai penerbangan yang menyediakan jasa logistik udara, pengiriman barang kargo, dan layanan penumpang. Jaringan kantor berada di Singapura, Jakarta, Batam, Balikpapan, Kuala Lumpur, Johor Bahru, Penang, Labuan, Brunei, Manila, Clark, Timur Tengah, dan beberapa tempat lain. My Airlines juga memiliki fasilitas gudang di seluruh negara di Asia Tenggara.
Sebelumnya, manajemen Garuda cenderung memilih opsi penyelamatan menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan untuk restrukturisasi, meskipun opsi ini memiliki risiko pailit jika gagal melakukan negosiasi dengan kreditur.
Skema penyelamatan tersebut merupakan satu dari empat opsi yang dapat diambil untuk Garuda di tengah situasi pandemi Covid-19. Dalam prosesnya, Garuda melakukan restrukturisasi melalui PKPU.
Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra mengatakan PKPU bukanlah pernyataan pailit. Namun jika sudah masuk dalam PKPU dan setelah 270 hari tidak tercapai kesepakatan antara debitur dan kreditur, otomatis Garuda menjadi pailit. "Artinya ada risiko selalu untuk bisa menjadi pailit ketika masuk ke PKPU," kata Irfan dalam rapat dengan Komisi VI DPR di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (21/6).
Untuk masuk ke tahap PKPU, Garuda harus memiliki proposal yang diajukan kepada kreditur supaya ada keyakinan dan kepastian mengenai penyelesaian negosiasi terhadap utang-piutang ini. Garuda harus memiliki rencana yang solid terkait kelanjutan bisnis setelah melewati proses restrukturisasi.
"Karena para kreditur mesti punya keyakinan, kalau mengorbankan tagihannya, dia mesti tahu Garuda mampu sustainable dalam waktu yang lama," kata Irfan.
Opsi lain dalam negosiasi yang bisa ditawarkan Garuda ke kreditur adalah konversi utang menjadi saham. Penawaran ini bisa disertakan dalam proses negosiasi tapi harus mendapatkan persetujuan dari pemegang saham Garuda karena akan terjadi dilusi kepemilikan saham.
Saat ini, mayoritas saham Garuda dimiliki oleh Negara Republik Indonesia sebesar 60,54%. Lalu, PT Trans Airways milik pengusaha Chairul Tanjung menggenggam 28,27% saham Garuda. Sisanya, sebanyak 11,19% dimiliki oleh investor publik.
"Ini yang memang kami masih mau lihat, proposal apa yang akan kami ajukan bersama penasehat. Kalau di dalamnya ada opsi debt to equity, harus keputusan pemegang saham," kata Irfan.
Irfan mengatakan, opsi restrukturisasi melalui PKPU merupakan opsi paling rasional. Berdasarkan hitung-hitungan manajemen, Garuda bisa memperoleh hasil negosiasi dengan para kreditur yang nilainya saat ini mencapai Rp 70 triliun, termasuk kreditur BUMN.
"Kami akan sampaikan proposal ke para kreditur untuk menjadikan Rp 70 triliun menjadi utang yang sustainable, kami lebih mampu bayar di kemudian harinya," kata Irfan.
Irfan mengatakan, Garuda wajib menyelesaikan proses negosiasi dengan kreditur, baik melalui PKPU maupun tidak pada tahun ini. Ia mengatakan, Garuda tidak bisa melebihi batas waktu hingga tahun depan.