Wakil Ketua Umum (Ketum) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas, menolak rencana penggabungan usaha alias merger PT Bank Mualamat Indonesia Tbk (BMI) dengan unit usaha syariah PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) atau BTN Syariah.
“Dengan beberapa pertimbangan, ide untuk menggabungkan Bank Muamalat dan BTN Syariah sebaiknya tidak dilanjutkan,” ucap Anwar, dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (22/1).
Gagasan tersebut, kata Anwar karena ada dua hal yang dipertimbangkan. Pertama, ia berpendapat bahwa warisan dari para pendiri BMI, yang telah bekerja keras untuk mendirikan bank tersebut harus tetap terjaga. Kedua, ia ingin memastikan bahwa di tengah persaingan di sektor perbankan Indonesia yang mayoritas dihuni oleh muslim, bank swasta milik umat Islam masih tetap berdiri.
Oleh karena itu, dalam menangani isu merger Bank Muamalat, Anwar berharap pendekatan yang diambil tidak hanya berdasarkan pertimbangan ekonomi dan bisnis semata, tetapi juga harus memperhatikan dan mempertahankan nilai sejarah.
Selain itu, Anwar menekankan tujuan mendirikan bank ini adalah untuk memberikan umat Islam akses ke bank yang beroperasi berdasarkan prinsip Syariah. Di mana ada harapan dapat memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian umat. Terutama berlaku untuk usaha-usaha di kelompok UMKM, seperti usaha kecil, mikro, dan ultra mikro, yang jumlahnya mencapai 99% dari seluruh pelaku usaha di Indonesia.
“Oleh karena itu, tugas kita sekarang bukan lagi memikirkan bagaimana menggabungkannya dengan BTN Syariah atau bank BUMN lain. Tapi adalah bagaimana kita bisa secara bersama - sama memajukan dan membesarkannya,” lanjut Anwar.
Anwar mengakui bahwa Bank Muamalat mengalami tantangan dan untuk memperkuatnya, bank tersebut mengundang investor asing dari Timur Tengah. Meskipun mengalami kesuksesan sementara, Bank Muamalat kembali menghadapi masalah sehingga pemerintah menginisiasi Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) untuk berinvestasi guna menyelamatkan Bank Muamalat.
Selain itu, BPKH menginvestasikan dana pada BMI, tambah Anwar, ini tidak berarti Bank Muamalat menjadi kepemilikan pemerintah. Dana yang diinvestasikan berasal dari BPKH yakni bukan dana pemerintah, melainkan dana umat.
Oleh karena itu, Anwar menekankan pentingnya menjaga Bank Muamalat agar tetap sesuai dengan paradigma awalnya. Yaitu dimiliki oleh umat, bersama-sama dengan umat, dan untuk kepentingan umat.
Menurut Anwar, tindakan ini dapat dilakukan dengan mudah karena kehadiran investasi dari BPKH telah meningkatkan kepercayaan umat terhadap Bank Muamalat. Meskipun jumlah investasi BPKH hanya sekitar 1% dari total dana haji yang dikelola BPKH, kepercayaan masyarakat terhadap Bank Muamalat semakin kuat.
Dengan demikian, langkah yang diambil oleh pemerintah seharusnya bukan mengambil alih Bank Muamalat sebagai bank milik negara. Melainkan bagaimana mendukung Bank Muamalat agar tetap eksis dan menjadi bank yang tangguh dan baik yang dimiliki oleh umat.
Anwar menegaskan keberhasilan pemerintah dalam menangani masalah Bank Muamalat tidak harus diukur dari upaya menjadikannya bank milik negara.
“Tapi dilihat dari segi mampunya pemerintah menciptakan satu situasi dan kondisi yang mendukung. Lalu membuat Bank Muamalat tetap menjadi sebuah bank milik umat yang kuat, maju, terpercaya dan bisa dibanggakan,” ujar Anwar.
Sementara terkait dengan pemberitaan mengenai rencana merger tersebut, Sekretaris Bank Muamalat Indonesia, Hayunaji menegaskan hal itu sepenuhnya merupakan ranah atau kewenangan dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Adapun BPKH merupakan Pemegang Saham Pengendali (PSP) Bank Muamalat.
“Kami tentunya akan mengikuti arahan dan strategi dari BPKH,” kata Hayunaji kepada Katadata.co.id, Senin (22/1).
Katadata juga sudah berupaya meminta tanggapan, baik dari pihak BTN maupun BTN Syariah. Namun sayangnya hingga berita ini diturunkan belum ada respons.