Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor dari Tiongkok melonjak signifikan pada Maret 2020. Hal ini menunjukkan perekonomian Negeri Panda perlahan mulai pulih usai dilanda pandemi virus corona sejak akhir 2019.
"Berdasarkan negara asal, peningkatan impor terbesar dari Tiongkok. Ternyata pemulihan di Tiongkok begitu cepat sehingga impor kita dari sana naik US$ 1 miliar dibanding bulan Februari 2020," ujar Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi video di Jakarta, Rabu (15/4).
Suhariyanto menyebut, nilai impor nonmigas dari Tiongkok pada Maret 2020 mencapai US$ 2,9 miliar, naik dari US$ 1,9 miliar pada Februari 2020. Meski demikian capaian tersebut lebih rendah US$ 232,8 juta jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Selain dari Tiongkok, peningkatan impor terbesar juga berasal dari Hong Kong yang naik US$ 191,7 juta dari US$ 151 juta pada Februari menjadi US$ 342,8 juta. Kemudian dari Taiwan naik US$ 143,1 juta dari US$ 151,2 juta menjadi US$ 342,8 juta.
(Baca: Kinerja Ekspor-Impor Membaik, Neraca Dagang Maret Surplus US$ 743 Juta)
Impor dari Swiss naik US$ 127,2 juta dari US$ 42,7 juta menjadi US$ 169,9 juta. Serta dari Amerika Serikat naik US$ 125 juta dari US$ 551,1 juta menjadi US$ 676,1 juta.
Sementara itu, Suhariyanto mengungkapkan, penurunan nilai impor nonmigas terbesar berasal dari Jepang yang anjlok US$ 76,2 juta dari US$ 1,29 miliar menjadi US$ 1,21 miliar. "Dari Kanada juga menurun US$ 41 juta dari US$ 134,8 juta menjadi US$ 93,7 juta," katanya.
Nilai impor dari Thailand turut merosot US$ 40 juta US$ 831,5 juta menjadi US$ 791,5 juta. Selanjutnya dari Argentina turun US$ 39 juta dari US$ 294,5 juta menjadi US$ 255,5 juta. Terakhir, dari Malaysia anjlok US$ 21,9 juta dari US$ 473,6 juta menjadi US$ 451,7 juta.
Total nilai impor Indonesia pada Maret 2020 mencapai US$ 13,35 miliar, naik US$ 1,8 miliar atau 15,6% dibanding Februari 2020. Hal tersebut disebabkan oleh naiknya nilai impor nonmigas sebesar US$ 1.943,1 juta atau 19,83% walaupun impor migas mengalami penurunan US$ 141,1 juta atau 8,07%.
(Baca: Surplus Neraca Dagang Maret Anjlok, IHSG Sesi 1 Turun 0,74%)
Lebih lanjut, Suhariyanto mengatakan bahwa penurunan impor migas dipicu oleh turunnya nilai impor minyak mentah dan hasil minyak masing-masing sebesar US$ 39,8 juta atau 6,77% dan US$ 119,6 juta atau 12,69%. Sebaliknya, nilai impor gas naik US$ 18,3 juta atau 8,43%.
Sementara menurut penggunaannya, barang impor konsumsi tercatat sebesar US$ 1,27 miliar, naik 43,8% dari bulan Februari, dan 10,66% dari Maret 2019. Adapun barang konsumsi yang meningkat yakni senjata dan amunisi serta bagiannya, buah-buahan seperti pir dan bawang putih dari Tiongkok.
Selanjutnya, impor bahan baku dan penolong sebesar US$ 10,28 miliar, naik 16,34% dibanding Februari dan 1,72% dari Maret 2019. "Beberapa bahan baku yang naik itu adalah berbagai peralatan elektronik yang terkait dengan portabel receivers serta gold lumps," ucap Suhariyanto.
Lalu, impor barang modal turun tipis 1,55% dari bulan Februari menjadi US$ 1,8 miliar. Tetapi jika dibandingkan dengan Maret 2019, impor barang modal turun cukup dalam hingga 18,07%.
(Baca: Impor dari Tiongkok Anjlok, Defisit Perdagangan AS Terendah Sejak 2016)
Meski demikian komposisi impor tidak berubah sejauh ini. Secara rinci, peran impor bahan baku penolong masih yang terbesar dari keseluruhan total impor. Share impor bahan baku penolong yakni 77,01%, barang modal 13,49%, dan sisanya 9,5% merupakan peran barang konsumsi.
Secara kumulatif Januari–Maret 2020 nilai impor RI adalah US$ 39,2 miliar, turun 3,69% atau US$ 1,5 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan terjadi pada impor nonmigas sebesar US$ 2,08 miliar atau 5,8%, namun impor migas naik sebesar US$ 580 juta atau 12,18%.