IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global, Bagaimana Prospek RI?

Donang Wahyu|KATADATA
Gedung-gedung perkantoran di DKI Jakarta difoto dari ketinggian.
16/10/2019, 17.02 WIB

Dana Moneter Internasional (IMF) kembali menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi global akibat perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya sebesar 3%, lebih rendah dibandingkan proyeksi Juli lalu sebesar 3,2%.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir menilai meski pertumbuhan ekonomi global melambat, Indonesia akan tetap bertahan. Pasalnya, Indonesia tak terlalu bergantung pada global.

"Saya termasuk yakin dengan pertumbuhan ekonomi kita akan bertahan. Selama kita bisa mempertahankan permintaan domestik, saya rasa tidak akan di bawah 5%," kata Iskandar di Gedung SMESCO, Jakarta, Rabu (16/10).

(Baca: Usai Pemilu, Kepercayaan Investor Merosot Akibat Lesunya Ekonomi Dunia)

Sejauh ini, ia melihat pertumbuhan permintaan domestik tak terlalu mengkhawatirkan. Permintaan dari segi ritel masih menjanjikan. Hal ini tercermin dari indeks Purchasing Manager Index Indonesia yang mencapai nilai 49. "Kan masih hampir di 50. Kecuali sudah 48, itu sudah kontraksi," ucap dia.

Ia pun berharap seluruh bank bisa menurunkan suku bunga kredit di triwulan IV 2019 sehingga laju perekonomian bisa semakin terdorong. Sebab, Bank Indonesia juga sudah memangkas suku bunga acuan sebanyak tiga kali sepanjang tahun ini.

(Baca: Survei BI : Kredit Baru Tumbuh Melambat pada Kuartal III 2019)

Dalam laporan terbarunya, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5% pada tahun ini. Proyeksi tersebut sama dengan proyeksi pada Juli lalu. Meskipun, lebih rendah dari proyeksi pada April lalu yang sebesar 5,2%.

Adapun pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di kisaran 5%, kata Iskandar, masih lebih baik dibandingkan beberapa negara Asia, seperti India dan Singapura.

Ke depan, ia optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terus terakselerasi, seiring pertumbuhan investasi. Investasi diharapkan semakin menggeliat setelah berjalannya sistem online perizinan usaha (OSS), skema omnimbus law untuk aturan perizinan usaha, serta fasilitas insentif pajak seperti tax holiday.

Menurut dia, hingga September 2019, sudah ada 43 investor yang disetujui pemerintah untuk mendapatkan tax holiday. "Ini sangat mendukung investasi karena dari 43 investor itu jumlahnya mencapai Rp 513 triliun, bayangkan," kata dia.

(Baca: Kepercayaan Investor Institusi Terhadap Kinerja Pemerintah Merosot)

Para investor tersebut berasal dari 11 negara, dengan yang terbanyak berasal dari Korea Selatan dan Tiongkok. Keseluruhan investor ini berinvestasi di berbagai sektor industri seperti nikel dan baja.

Dari sisi global, IMF menyatakan perlambatan pertumbuhan ekonomi disebabkan penurunan tajam dalam aktivitas manufaktur dan perdagangan global imbas tarif yang lebih tinggi. Ketidakpastian kebijakan perdagangan juga telah merusak investasi dan permintaan barang modal.

Ketegangan perdagangan antara AS dan Tiongkok disebut akan menekan pertumbuhan Produk Domestik Bruto global sebesar 0,8% pada 2020. Pertumbuhan di sejumlah negara berkembang juga dipengaruhi oleh tingkat produktivitas yang rendah, sedangkan pertumbuhan di negara maju dipengaruhi demografi penduduk yang menua.