(Baca: Berbagai Kenaikan Tarif dan Ancaman AS -Tiongkok Selama Perang Dagang)

Penguatan indeks dolar AS juga disebabkan oleh polemik Brexit, serta data ekonomi Eropa yang lemah. Hasil survei manufaktur Eropa yang dirilis Senin, 2 September 2019, menunjukkan kinerja industri manufaktur melambat selama tujuh bulan berturut-turut.

Hal ini memperkuat potensi pelonggaran moneter oleh bank sentral Eropa dan putaran baru pembelian obligasi untuk menggerakkan ekonomi (quantitative easing).

Meski dolar AS dalam tren penguatan, namun Ibrahim optimistis rupiah tidak akan melemah tajam. "Bank Indonesia (BI) masih bisa meredam dengan melakukan intervensi melalui perdagangan valas dan obligasi di pasar DNDF," ujar dia.

Ditambah lagi, fundamental ekonomi masih cukup kuat. Pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi kuartal III 2019 di atas 5%. Apalagi, dengan dukungan inflasi yang terkendali. Inflasi bulanan pada Agustus sebesar 0,12%, lebih rendah dari ekspektasi pasar 0,16%.

Ibrahim berharap pemerintah dan BI terus menerapkan bauran kebijakan guna meredam pelemahan mata uang garuda di tengah guncangan pasar yang cukup hebat akibat perang dagang dan Brexit.

Dalam perdagangan besok, Ibrahim memproyeksikan rupiah masih akan fluktuatif dengan kecenderungan melemah dalam rentang tipis. Perkiraan dia, rupiah akan bergerak pada kisaran Rp 14.200 - Rp 14.256 per dolar AS.

Halaman: