Yuan Tiongkok melemah hingga ke level terendah dalam 11 tahun terakhir pada perdagangan di pasar onshore dan jatuh ke rekor terendah di pasar offshore. Pelemahan yuan terjadi seiring kembali memanasnya perang dagang antara AS dan Tiongkok yang menghancurkan kepercayaan investor dan membuat prospek ekonomi global makin suram.
Sementara yen, yang biasanya dibeli di tengah ketidakpastian sebagai aset aman, melemah terhadap dolar AS akibat aksi penjualan dolar oleh importir. Namun, yen tetap menguat terhadap mata uang lain yang mengindikasikan berkurangnya selera investor dalam memegang aset berisiko.
Harga emas melonjak, sedangkan imbal hasil surat berharga (treasury) AS mencapai level terendah sejak Juli 2016 karena investor berpindah pada aset yang lebih aman.
Pasar keuangan bakal bergejolak dalam jangka panjang jika investor terus memindahkan uangnya dari pada saham ke aset yang memiliki risiko lebih rendah, seperti surat utang, emas, dan mata uang yang tergolong aset aman.
"Ekonomi Tiongkok melambat, sehingga yuan terus melemah hingga otoritas mengambil langkah untuk menghentikannya," ujar Takuya Lamda, General Manager Departemen Riset pada Gaitame.com, sebuah lembaga riset di Tokyo, seperti dikutip dari Reuters, Senin (26/8).
(Baca: Perang Dagang jadi Tantangan Pemerintahan Berikutnya )
Ia menjelaskan dolar yang dibeli oleh importir Jepang mengangkat posisi dolar dari posisi terendahnya terhadap yen. Namun, ia menilai sebenarnya tak ada alasan untuk membeli dolar, sehingga yen akan terus menguat.
Di pasar onshore, yuan melemah ke level 7,15 per dolar, terendah sejak Februari 2008. Sedangkan di pasar offshore, yuan turun ke level 7,185 per dolar, terlemah sejak perdagangan internasional dimulai pada 2010.
Harga emas menanjak 1,2% ke level US$ 1.548,93 per ons, mendekati harga tertinggi sejak April 2013.
Pasar saham AS bergejolak pada penutupan akhir pekan lalu ketika Presiden AS Donald Trump mengumumkan peningkatan pajak 5% pada barang Tiongkok senilai US$ 550 miliar. Beberapa jam kemudian, Tiongkok membalas dengan mengenakan tarif pada barang AS senilai US$ 75 miliar.
Pada pertemuan G7 di Prancis sepanjang akhir pekan lalu, Trump menyebabkan kebingungan pada pelaku pasar dengan mengindikasikan memiliki pertimbangan lain terkait tarif.
(Baca: Risiko Investasi Surat Utang RI Terus Naik, Gubernur BI: Jangan Panik)
Namun, Gedung Putih pada Minggu mengklarifikasi komentar tersebut, mengatakan Trump berharap dia menaikkan tarif barang-barang Tiongkok lebih tinggi minggu lalu, meski mengisyaratkan dia tidak berencana untuk menindaklanjuti keinginannya agar perusahaan AS menutup operasionalnya di Tiongkok.
Dalam perdagangan Asia, patokan imbal hasil Treasury AS 10-tahun turun di bawah 1,475%, mencapai level terendah dalam lebih dari tiga tahun. Imbal hasil utang jangka waktu 2 tahun turun menjadi 1,465%.
Awal bulan ini, kurva imbal hasil menunjukkan kondisi terbalik untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade terakhir, dengan imbal hasil jangka panjang diperdagangkan di bawah hasil jangka pendek. Hal ini umumnya dianggap sebagai sinyal dari resesi ekonomi. Investor pun mengawasi untuk melihat apakah kurva hasil berbalik lagi.
Yen melonjak pada awal perdagangan Asia menjadi 104,46 per dolar, tertinggi sejak Januari ini, tetapi kemudian melemah menjadi hanya sedikit lebih tinggi di posisi 105,26.
(Baca: AS-Tiongkok Kembali Perang Tarif, Rupiah Dibuka Melemah)
"Spekulan datang ke pasar sangat awal untuk menekan dolar/yen. Fakta bahwa yuan offshore turun sebanyak ini menunjukkan spekulan menjadi sedikit liar. Perang dagang mendorong semua gerakan ini, dan saya tidak melihat ini berakhir dalam waktu dekat," kata Yukio Ishizuki, ahli strategi valuta asing di Daiwa Securities di Tokyo.
Yen diperkirakan akan bergerak ke level 104,10 per dolar, yang merupakan level tertinggi yang dicapai sejak 3 Januari saat pasar keuangan terguncang, kata Daiwa Securities, Ishizuki.
Sementara itu, dolar Australia turun 0,3% menjadi US$ 0,6736 pada 0242 GMT. Level sebelumnya US$ 0,6690, merupakan yang terendah satu dekade terakhir $ 0,66775.