Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menyatakan kondisi perekonomian dan sistem keuangan di Indonesia pada triwulan II-2019 terjaga dengan baik. Kesimpulan tersebut merupakan hasil dari rapat yang telah diadakan pada Jumat lalu (26/7).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, stabilitas sistem keuangan domestik tetap baik. "Hal ini ditopang industri perbankan yang tetap sehat dan pasar keuangan domestik yang kondusif," kata dia dalam konferensi pers di Gedung Bank Indonesia (BI), Jakarta, Selasa (30/7).
Adapun kondisi tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Pertama, menurunnya ketidakpastian pasar keuangan global yang dipicu respon sejumlah bank sentral di negara maju dan negara berkembang yang melonggarkan kebijakan moneter. Perkembangan ini mendorong aliran masuk modal asing ke negara berkembang termasuk Indonesia.
Kedua, faktor imbal hasil investasi portofolio di aset keuangan domestik yang lebih menarik. Ketiga, membaiknya persepsi terhadap prospek ekonomi Indonesia, seiring peningkatan sovereign rating Indonesia oleh Standard and Poor’s (S&P). Kondisi tersebut turut memperkuat rupiah serta meningkatkan kinerja pasar obligasi negara dan pasar saham.
Namun, KSSK juga mencatat beberapa potensi risiko dari eksternal dan domestik yang harus diwaspadai. Dari eksternal, salah satunya adalah berlanjutnya ketegangan hubungan dagang AS–Tiongkok yang berpotensi melebar ke negara-negara lain.
Faktor itu terus menekan volume perdagangan dunia serta memperlambat prospek pertumbuhan ekonomi global. "Ekonomi global yang melemah pada akhirnya makin menekan harga komoditas termasuk harga minyak," ujar Sri Mulyani.
Dari dalam negeri, KSSK melihat tantangan utama yang dihadapi adalah mempertahankan momentum pertumbuhan serta memperbaiki defisit transaksi berjalana (current account deficit/CAD) di tengah melemahnya perekonomian global.
Karena itu, KSSK terus memperkuat koordinasi kebijakan untuk mempertahankan stabilitas sistem keuangan. Koordinasi itu juga diharapkan dapat mendorong permintaan domestik, serta meningkatkan ekspor, pariwisata, dan aliran masuk modal asing, termasuk Penanaman Modal Asing (PMA).
(Baca: Ekonomi Tumbuh di Bawah Target, Asumsi Makro Semester I 2019 Meleset )
Realisasi APBN 2019
Dari sisi fiskal, hingga akhir Juni 2019, realisasi pendapatan negara tercatat sebesar Rp 898,76 triliun atau 41,51% terhadap target APBN 2019, tumbuh 7,84% secara tahunan (year on year/yoy) dibandingkan realisasi periode yang sama tahun sebelumnya. Realisasi belanja negara mencapai Rp 1.034,51 triliun atau 42% dari pagu APBN 2019. Pertumbuhannya mencapai 9,59% dari periode yang sama pada tahun 2018.
Defisit anggaran hingga akhir semester I-2019 tercatat Rp 135,75 triliun atau 0,84% terhadap PDB, dengan keseimbangan primer berada pada posisi negatif Rp 0,98 triliun. Realisasi pembiayaannya mencapai Rp175,35 triliun, meliputi penerbitan surat berharga negara atau SBN (neto) sebesar Rp195,72 triliun dan pinjaman (neto) sebesar negatif Rp15,27 triliun, sehingga terdapat sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) sebesar Rp39,60 triliun.
Seiring dengan kembalinya arus modal investor asing ke pasar keuangan domestik, kinerjanya pun meningkat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara tahun kalender (year to date/ytd) per 30 Juni 2019 ditutup meningkat ke level 6.358,63 dengan net buy investor nonresiden sebesar Rp 68,80 triliun. Rata-rata imbal hasil atau yield Surat Berharga Negara (SBN) juga turun 57,64 bps secara tahun kalender dengan net buy investor nonresiden Rp95,50 triliun.
(Baca: Defisit APBN Naik, Defisit Keseimbangan Primer Malah Susut Jadi Rp 1 T)
Kebijakan BI dan OJK
Dengan perkembangan tersebut, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan, bank sentral merespon dengan memperkuat bauran kebijakan. BI menempuh kebijakan moneter yang akomodatif dengan menurunkan giro wajib minimum (GWM) sebesar 50 basis poin pada Juni 2019 dan suku bunga kebijakan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin pada Juli 2019.
"Kebijakan ini ditempuh sejalan dengan tetap rendahnya prakiraan inflasi dan perlunya mendorong momentum pertumbuhan ekonomi, di tengah kondisi ketidakpastian keuangan global dan stabilitas eksternal yang terkendali," kata Perry.
Pada Juni 2019, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) perbankan mulai meningkat ke level tertinggi dalam delapan bulan terakhir yaitu sebesar 7,42% yoy. Sementara itu penyaluran kredit perbankan dan piutang pembiayaan masing-masing tumbuh sebesar 9,92% dan 4,29% secara tahunan.
(Baca: BI Taksir Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II Tertahan di Kisaran 5,07%)
Untuk mendukung optimalisasi kontribusi sektor jasa keuangan dalam membangun ekonomi nasional yang sehat dan berkesinambungan, pada paruh kedua 2019 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan serangkaian kebijakan antara lain terkait pendalaman pasar keuangan domestik, pemberdayaan UMKM dan masyarakat kecil serta beberapa penyempurnaan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan.
Di bidang penjaminan untuk nasabah perbankan, LPS mencermati suku bunga simpanan sudah berada dalam tren yang stabil dan diharapkan dapat turun sejalan dengan perbaikan kondisi likuiditas perbankan dan pelonggaran kebijakan moneter BI. Dari awal tahun ini hingga akhir minggu ketiga Juli 2019, rata-rata suku bunga deposito rupiah pada 66 bank benchmark terpantau turun dan berada di level 6,11%.
Sementara, rata-rata suku bunga valuta asing di 19 bank benchmark pada periode yang sama terpantau stabil di level 1,26%. Sejalan dengan dengan hal tersebut, LPS memutuskan untuk mempertahankan tingkat bunga penjaminan sebesar 7,00% untuk simpanan rupiah di bank umum dan 9,50% untuk simpanan di BPR. Sementara, tingkat bunga penjaminan simpanan valuta asing di bank umum juga dipertahankan tetap sebesar 2,25%.