Ancaman resesi Amerika Serikat (AS) mulai timbul setelah adanya fenomena kurva imbal hasil terbalik (yield inverterd curve). Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan, ancaman resesi itu dapat mendorong aliran masuk dana asing.
Hal tersebut memicu bank sentral AS, The Fed untuk menahan suku bunga acuan AS sepanjang 2019. Hal ini akan memicu investor beralih ke negara berkembang. "Defisit transaksi berjalan akan terbantu karena portfolio akan kembali masuk ke Indonesia," kata dia di kantornya, Jakarta, Rabu (27/3).
Gejolak global yang perlu diwaspadai, menurut dia, perlambatan ekonomi Tiongkok. Dampaknya terhadap Indonesia akan lebih besar, terutama pada neraca pembayaran.
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun ini hanya 6,3% atau melambat dibandingkan 2018 yang mencapai 6,6%. Menurut Mirza, neraca dagang akan terganggu karena Negeri Tirai Bambu itu merupakan mitra dagang utama Indonesia.
(Baca: Gubernur BI Sebut Ekonomi Dunia Sejak Tahun Lalu Tak Ramah ke RI)
Selain itu, BI juga mewaspadai perlambatan harga komoditas karena akan menjadi tantangan dalam menggenjot ekspor Indonesia. Saat ini pemerintah masih bergantung pada komoditas berbasis alam seperti minyak sawit, karet, kopi, kakao, teh, udang, serta kayu gergaji.
Dalam Laporan Perekonomian 2018, BI memprediksikan harga komposit komoditas ekspor Indonesia diperkirakan kembali turun sekitar 3,1%. Penurunan ekspor terutama disebabkan oleh penurunan harga batubara sebesar 3,8%, tembaga turun 3,8%, nikel turun 3,7%, dan aluminium turun 5,6%.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi tak sependapat dengan Mirza. Menurut dia, resesi AS dapat memicu aliran keluar modal asing di Indonesia sehingga melemahkan mata uang rupiah. Investor lebih memilih menanamkan modalnya ke negara yang dianggap aman (safe heaven). "Mata uang negara maju menguat. Rupiah bukan membaik, tapi terdepresiasi," kata dia kepada Katadata.co.id.
Hal serupa terjadi pada peristiwa krisis keuangan 2008 dan 2011, serta taper tantrum pada 2013. Pada saat itu, investor bergerak ke negara safe heaven, seperti Jepang, AS, dan Eropa. Akibatnya, nilai rupiah turun.
(Baca: Kekhawatiran Resesi AS, Posisi Rupiah Kembali Terancam)
Ketika krisis terjadi, investor secara otomatis menghindari risiko sehingga tidak menempatkan dananya di negara berkembang. Apalagi, Indonesia memiliki permasalahan defisit transaksi berjalan (current account deficit) yang menahun. Secara fundamental, investor juga memilih imbal hasil (yield) obligasi negara yang lebih tinggi.
Faisal mengatakan, dampak dari resesi AS perlu diwaspadai. Ekspektasinya dapat menjalar lebih cepat daripada masalah yang disebabkan oleh faktor fundamental. Fithra pun menyarankan, Indonesia perlu mencari stimulus fiskal maupun moneter.