Pemerintahan Presiden Joko Widodo – Jusuf Kalla melakukan pembangunan infrastruktur yang masif dalam empat tahun belakangan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Dalam berbagai paparan pemerintah, ini jadi salah satu penyebab utama lonjakan utang. Pertanyaannya, apakah ekonomi betul-betul akan terdongkrak?
Ekspansi belanja pemerintah untuk infrastruktur dalam beberapa tahun belakangan memang jadi salah satu pendorong roda perekonomian, di tengah ketidakpastian global yang menekan kinerja ekspor dan lesunya investasi swasta. Seperti kerap disinggung pemerintah dan ekonom, pembangunan infrastruktur bisa memiliki efek berganda (multiplier effect) bagi ekonomi, baik ketika dibangun maupun setelah rampung.
Namun, laporan Bank Dunia yang bocor beberapa waktu, “Indonesia Infrastructure Financing Sector Assessment Program” (InfraSAP), membuat banyak pihak mencermati daya dongkraknya terhadap ekonomi maupun ketepatan skema pembiayaan atas infrastruktur yang sudah akan akan dibangun. Sebab, menurut penilaian Bank Dunia, proyek infrastruktur tidak dipilih dengan kriteria yang jelas. Keputusan – apakah akan didanai pemerintah atau kemitraan dengan badan usaha – juga diputuskan terlalu dini, tanpa banyak analisis.
(Baca: Sri Mulyani: Proyek Infrastruktur Bisa Molor Belasan Tahun Tanpa Utang)
Bank Dunia juga mengkritisi ketergantungan tinggi pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam pembangunan infrastruktur lantaran meyakini BUMN bisa membangun dengan lebih baik dan lebih cepat. Padahal, pendekatan ini bisa menciptakan utang dan risiko untuk BUMN. Selain itu, menyingkirkan peluang investasi oleh swasta lantaran monopoli BUMN.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengatakan bila mencermati laporan Bank Dunia, memang ada beberapa kelemahan dari sisi perencanaan proyek infrastruktur. “Feasibility studies-nya belum intensif dilakukan dan kualitas tidak standar,” kata dia. Hal ini dipandangnya sebagai risiko dari banyaknya proyek infrastruktur dan pemerintah yang diburu waktu.
Menurut dia, pemerintah perlu mengevaluasi proyek infrastruktur. Ia menyarankan agar pemerintah memprioritaskan proyek yang sesuai dengan kebutuhan industri sehingga mendorong juga penyerapan tenaga kerja. Dengan berkembangnya industri ditambah bonus demografi, pertumbuhan ekonomi diyakini bisa terdongkrak dari saat ini bertengger di kisaran 5%.
“Harusnya dengan proyeksi infrastruktur yang masif, pertumbuhan ekonomi bisa lebih besar lagi. (Tapi) kembali lagi masalahnya ke planning (perencanaan),” ujarnya.
Di sisi lain, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, dampak dari terbangunnya infrastruktur ke pertumbuhan ekonomi baru akan terlihat dalam beberapa tahun ke depan. Ini dengan mempertimbangkan bahwa realisasi pembangunan infrastruktur atas 225 Proyek Strategis Nasional (PSN) baru mencapai 15%.
"Jadi efek ke pertumbuhan ekonomi belum dirasakan. Butuh jeda 5-10 tahun," kata dia. Sementara itu, proses pembangunan infrastruktur yang masih mengandalkan bahan baku dan barang modal impor, serta peran BUMN, membuat efek berganda yang diharapkan dalam tiga tahun terakhir tidak tercermin baik dalam investasi langsung maupun dalam Produk Domestik Bruto (PDB) secara umum.
(Baca: Tanpa Utang, Pembangunan Infrastruktur Melibatkan Swasta)
Ke depan, untuk bisa memacu perekonomian, ia mengatakan perlunya perbaikan juga dari sisi postur belanja. Sebab, menurut dia, ekspansi belanja yang menghasilkan lonjakan utang beberapa tahun ini bukan hanya untuk pembangunan infrastruktur. Ini tercermin dari pertumbuhan belanja barang dan belanja pegawai yang melebihi belanja modal.
Ia memaparkan, belanja pegawai naik 40,5% dan belanja barang 80,9% dalam periode 2014-2018. "Sementara belanja modal yang berkaitan dengan infrastruktur kenaikannya hanya 31,4%," ujarnya. Dana transfer daerah juga dinilainya masih banyak habis untuk belanja birokrasi, bukan untuk stimulus sektor riil.