Di bawah bayang-bayang ketidakpastian global, muncul ide penerapan reverse Tobin Tax yaitu semacam insentif pajak untuk dana asing yang mau bertahan dalam kurun waktu tertentu di pasar modal. Kebijakan ini digadang-gadang bisa mendorong investor asing menanamkan dan menyimpan lebih lama dananya di pasar modal domestik.
Menteri Keuangan periode 2013-2014 Muhammad Chatib Basri menyebut soal reverse Tobin Tax dalam tulisannya “This Time Is (Not) Different” yang dilansir di laman Facebook miliknya. Kebijakan ini disebutnya sebagai salah satu langkah yang bisa diterapkan pemerintah untuk meminimalkan risiko gejolak di pasar keuangan domestik dan nilai tukar rupiah.
Ia mengawali tulisan tersebut dengan menyinggung soal pernyataan pimpinan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell bahwa pihaknya akan bersabar dalam mengerek bunga acuan. Dirinya pun mengaku tidak terkejut bila dana asing kembali mengalir ke negara berkembang (emerging market/EM) termasuk Indonesia guna mencari imbal hasil yang menarik.
(Baca: Naik atau Turunnya Bunga AS Dinilai Bakal Mengancam Ekonomi Indonesia)
Menurut dia, kondisi ini perlu ditanggapi secara hati-hati. Ini berkaca pada pengalaman sebelumnya. “Arus modal yang masuk, dalam jangka pendek memang mendorong perekonomian EM, namun ia tak berkesinambungan. Ketika The Fed melakukan normalisasi kebijakan moneter dengan menaikkan tingkat suku bunga, maka terjadi arus modal keluar,” kata dia.
Dampak dari arus keluar modal asing: pasar keuangan terguncang, nilai tukar mata uang jatuh, terutama di negara-negara yang defisit transaksi berjalannya dibiayai oleh aliran modal asing ke pasar modal (investasi portofolio). Indonesia salah satunya. Adapun hingga saat ini, Indonesia masih bergelut dengan problem defisit transaksi berjalan.
Ke depan, masih terbuka peluang kenaikan suku bunga AS. Hal ini dengan melihat perkembangan tingkat pengangguran yang semakin rendah, dan upah yang mulai naik. “Satu waktu inflasi akan naik dan The Fed harus menaikkan bunga,” kata dia. Maka itu, ia menilai pemerintah perlu melakukan beberapa langkah guna meredam risiko terguncangnya pasar keuangan dan nilai tukar rupiah ke depan.
(Baca: Prediksi Berbeda Ekonom Tentang Arah Kebijakan Bunga Acuan BI di 2019)
Seperti disinggung di awal, menurut Chatib, salah satunya langkah yang dapat diterapkan pemerintah adalah reverse Tobin Tax. “Jika dalam Tobin Tax, arus modal masuk jangka pendek dikenakan pajak, maka dalam reverse Tobin Tax, pemerintah memberikan insentif pajak jika investor melakukan re-investasi keuntungannya untuk jangka panjang,” kata dia.
Di samping itu, ada sederat langkah lain yang diusulkannya. Namun, usulan ini jadi menarik lantaran sempat disinggung Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam suatu acara Economic Outlook baru-baru ini. Menurut dia, seluruh dunia telah melihat bahwa lalu lintas devisa yang terlalu bebas bisa berdampak positif, tapi juga bisa mengganggu (disruptive).
Kebijakan untuk meredam gangguan merupakan suatu kebijakan yang dibenarkan. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah desain kebijakannya. “Ini lebih kepada masalah desain, daripada pertanyaaan mengenai perlu atau tidak perlu,” ujarnya.
(Baca juga: Menko Darmin Harapkan Hot Money Bawa Rupiah Kembali ke 13.000)
Senada dengan Chatib, Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan kebijakan reverse Tobin Tax bisa diterapkan secara fleksibel. "Ketika arus modal cukup kuat berarti tax-nya bisa dinormalisasi. Sekarang diskon pajaknya malah rendah sekali," kata dia.
Namun, ia menilai beberapa langkah lainnya lebih utama dilakukan saat ini, seperti pendalaman pasar keuangan dengan memperkaya instrumen penempatan yang tersedia. Sejauh ini, menurut dia, pasar keuangan dalam negeri masih kecil. Alhasil, investor asing tidak memiliki banyak pilihan instrumen untuk menempatkan dananya. Hal ini juga berisiko memicu bubble atau kenaikan harga yang terlalu tinggi atas aset finansial.
Di sisi lain, Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengatakan reverse Tobin Tax memang diperlukan untuk menarik dana asing lebih besar. Namun, ia menilai kebijakan itu belum tepat diterapkan dalam kondisi pasar yang bergejolak seperti saat ini.
"Saat kondisi pasar lagi naik-turun, investor tidak bisa punya perspektif jangka panjang," kata dia. Untuk saat ini, ia pun menilai reverse Tobin Tax bisa diterapkan bagi investor jangka panjang seperti bank sentral negara lain.
(Baca juga: PPh Bunga Obligasi Dikaji Turun, Bank Hadapi Risiko Perebutan Dana)
Adapun selain reverse Tobin Tax, Chatib menekankan langkah yang perlu dilakukan pemerintah adalah mendorong lebih banyak investor lokal masuk ke pasar obligasi dan saham, agar tidak bergantung pada pembiayaan eksternal. Kemudian, insentif atau aturan agar BUMN, Dana Pensiun, Asuran si, Dana Haji, dan retail menempatkan investasi dala, obligasi pemerintah.
Ia juga menyarankan pembuatan produk di pasar keuangan agar orang Indonesia memiliki opsi menempatkan investasi portfolio dalam mata uang asingnya di Indonesia (on shore). Ketersediaan berbagai instrumen pasar keuangan ini akan meningkatkan pasokan dolar di dalam negeri.
Kemudian, perbaikan iklim investasi dan yang terpenting, dalam jangka menengah panjang, yaitu menggerakkan ekspor manufaktur dengan membuat produk lebih beragam dan memperluas tujuan ekspor.