Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat cepat. Tren penguatan berlangsung mulai akhir Oktober. Sejak itu hingga berita ini ditulis, penguatannya mencapai 3,9% atau sebesar Rp 572 ke level 14.652 per dolar AS. Level ini merupakan yang terkuat dalam lebih dari dua bulan belakangan.
Kepala Riset Ekonomi Danareksa Research Institute Damhuri Nasution memaparkan lima faktor dari domestik dan global yang menyebabkan nilai tukar rupiah menguat tajam. Pertama, faktor pemberlakukan pasar valas berjangka Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF). Operasional DNDF mulai efektif pada 1 November lalu, sebanyak 11 bank aktif
“Pemberlakuan Domestik NDF membuat Foreign NDF mulai kurang diminati, dimana Foreign NDF ini biasanya quote rupiah cenderung lemah dan volatile (fluktuatif),” kata dia dalam pernyataan tertulis yang diterima Katadata.co.id pada Rabu (7/11).
(Baca juga: Kurs Rupiah Menguat Lagi ke Level 14.000 Berkat Pasar Valas Berjangka)
Kedua, pertumbuhan ekonomi yang mampu tumbuh di atas 5%. Badan Pusat Statistik mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III lalu sebesar 5,17% secara tahunan (year on year/YoY). Penguatan utamanya didorong oleh tetap kuatnya konsumsi rumah tangga. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi berada di level 5,17% sepanjang tahun ini.
“Ekonomi Indonesia bisa tetap tumbuh bagus di atas 5% (5,17% YoY) di tengah-tengah gejolak eksternal yang memaksa Bank Indonesia harus menaikkan suku bunga cukup agresif,” ujarnya.
Ketiga, optimisme pelaku pasar terhadap rencana pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping di Argentina akhir November ini terkait dengan perang dagang antara kedua negara.
Adapun ketegangan hubungan dagang antar kedua negara menjadi salah satu faktor utama yang memicu derasnya arus keluar dana asing dari pasar keuangan negara berkembang ke aset dalam dolar AS sebagai safe haven. Alhasil, turut menjadi penekan kurs mata uang terhadap dolar AS sepanjang tahun ini.
(Baca juga: Dikelilingi Sentimen Positif, Otot Rupiah Terus Menguat)
Keempat, keringanan kepada delapan negara untuk tetap bisa membeli minyak dari Iran setelah pengenaan sanksi penuh oleh AS pada Selasa (6/11) malam. “Akibatnya harga minyak turun, sehingga muncul optimisme pula bahwa neraca perdagangan migas kita akan lebih baik, yang pada gilirannya akan memperbaiki pula current account deficit (defisit transaksi berjalan),” ujarnya.
Defisit transaksi berjalan tercatat mengalami pelebaran tahun ini. Kondisi ini menunjukkan kebutuhan valuta asing (valas) untuk impor lebih besar dibandingkan dengan pasokan valas dari ekspor. Alhasil, pasokan valas domestik menjadi semakin bergantung kepada dana asing di pasar keuangan. Hal ini menyebabkan kurs rupiah rentan gejolak.
Kelima, aliran masuk dana asing ke pasar obligasi maupun saham. “Pertumbuhan ekonomi yang tetap bagus, inflasi terjaga serta prospek ekonomi yang masih relatif bagus, membuat investor asing kembali melirik pasar modal Indonesia,” kata dia.
Kepemilikan asing di obligasi negara terpantau terus menanjak sejak 19 Oktober, dari posisi Rp 847,82 triliun menjadi 867,55 triliun per 5 November. Ini artinya, kepemilikan asing bertambah Rp 19,73 triliun. Sementara itu, di pasar saham, investor asing tercatat membukukan pembelian bersih (net buy) sebesar Rp 5,96 triliun dalam sebulan belakangan.