Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah cepat. Pada perdagangan di pasar spot Senin (8/10), kurs rupiah sempat menembus 15.255 per dolar Amerika Serikat (AS), atau melemah 2,36% dibandingkan penurupan perdagangan pada akhir September lalu. Pelemahan cepat tersebut seiring dengan banyaknya faktor penekan baik dari eksternal maupun domestik.
Ekonom makro ekonomi yang menjabat Project Consultant Asian Development Bank Institute (ADBI) Eric Sugandi memaparkan sederet faktor eksternal yang jadi penyebab utama tertekannya kurs rupiah. Faktor pertama yakni arus keluar modal asing (capital outflows) dari negara berkembang alias great rotation. Penyebabnya, kenaikan bunga AS seiring pulihnya ekonomi AS.
“Waktunya investor global panen profit dari emerging markets setelah banyak berinvestasi sejak 2008,” kata Eric kepada Katadata.co.id, Senin (8/10). Di Indonesia, arus keluar terbesar terjadi di pasar saham yaitu berkisar Rp 50 triliun sepanjang tahun ini (year to date). (Baca juga: Tekanan Kurs Rupiah Berlanjut, Bagaimana Kecukupan Cadangan Devisa?)
Faktor kedua yakni sentimen negatif pelaku pasar finansial global terhadap negara berkembang. Hal ini seiring kejatuhan ekonomi negara berkembang seperti Turki dan Argentina. Selain itu, pelaku pasar juga mempertimbangkan risiko berupa eskalasi perang dagang AS-Tiongkok.
Lalu, kenaikan harga minyak dunia yang menyebabkan persepsi pelaku pasar bahwa defisit transaksi berjalan Indonesia berisiko membesar sehingga memengaruhi daya topang fundamental perekonomian Indonesia terhadap rupiah. Sebelumnya, ekonom DBS menganalisis kurs rupiah berisiko menembus Rp 16.500 per dolar AS bila rata-rata harga minyak dunia tembus US$ 100 per barel tahun depan. (Baca juga: Bila Harga Minyak US$ 100, Kurs Rupiah Berisiko Tembus 16 Ribu)
Di samping faktor eksternal, Eric tak menafikan adanya faktor internal yang turut memperberat tekanan terhadap kurs rupiah. Faktor yang dimaksud yaitu defisit transaksi berjalan, besarnya kepemilikan asing di saham dan surat utang negara, likuiditas valas yang mengetat dan terkonsentrasi di bank-bank besar, hingga banyaknya perusahaan yang tidak memitigasi sepenuhnya risiko kurs.
Selain itu, penurunan lebih lanjut cadangan devisa ke level US$ 114,8 miliar juga menimbulkan sentimen negatif pelaku pasar terhadap pasar keuangan domestik. Meskipun, cadangan devisa sebenarnya masih cukup banyak untuk Bank Indonesia (BI) melakukan buying time terhadap tekanan eksternal sambil menunggu pemerintah memperkecil defisit transaksi berjalan dan kondisi eksternal membaik. Jika cadangan devisa kurang, Indonesia masih bisa menggunakan fasilitas devisa di antaranya dari skema kerja sama multilateral Chiang Mai Initiative yang mencapai US$ 22,76 miliar.
Ia memprediksi kurs rupiah dan mata uang negara berkembang lainnya masih akan berada dalam tekanan sampai rapat kebijakan bank sentral AS pada 18-19 Desember 2018. Hal itu lantaran pelaku pasar menantikan realisasi dari potensi kenaikan bunga acuan AS pada rapat tersebut. “Namun tekanan ini sifatnya akan timbul tenggelam, tergantung persepsi dan sentimen pelaku pasar,” ujarnya.
Menurut dia, dengan kurs rupiah sekarang ini yang sudah menembus 15.200 per dolar AS, pelaku pasar melihat pelemahan lebih lanjut ke level 15.500. Tapi, ia meyakini BI pasti akan melakukan intervensi lebih lanjut. “Dengan data sampai hari ini, kurs rupiah sampai akhir tahun mungkin akan bergerak di kisaran 14.900-15.400,” kata dia.
Dalam kondisi sekarang, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menekankan pentingnya koordinasi antara pemerintah dan BI untuk mengurangi faktor penekan kurs rupiah yang berasal dari domestik, secara khusus yaitu defisit transaksi berjalan. “Perlu perkuat koordinasi untuk menekan isu pelebaran defisit transaksi berjalan serta di saat yang sama mendorong daya tarik pasar keuangan domestik sedemikian sehingga dapat menekan defisit neraca pembayaran,” ujarnya.
Ia memprediksi BI masih akan melanjutkan kebijakan moneter ketat hingga akhir tahun depan. Tujuannya, untuk menahan pelebaran defisit transaksi berjalan yang didorong oleh peningkatan aktivitas ekonomi domestik serta menjaga daya tarik pasar keuangan domestik. Menurut dia, BI berpotensi menaikkan kembali bunga acuan sebesar 25 basis poin pada kuartal terakhir tahun ini dan 75 basis poin lagi tahun depan sehingga berada di level 6,75%.